Liputan6.com, Jakarta - Pemanggilan mantan anggota Komisi II dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani oleh Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dianggap berpotensi menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi.
"Kami sudah mengirim surat, KPK beranggapan ini adalah menyangkut tentang penyelidikan kasus. Jadi ada potensi obstruction of justice atau menghalangi penuntasan kasus," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Selasa (20/6/2017).
Advertisement
Laode menjelaskan, KPK tidak menghadirkan Miryam yang saat ini dalam penahanan lembaganya, karena mantan politikus Partai Hanura itu menjadi tersangka kasus memberikan keterangan palsu pada persidangan perkara e-KTP.
Menurut Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), setiap orang dengan sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung penyidikan, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
"Kami juga menanyakan yang mau diangket KPK itu apa? Objek angket itu harus jelas, spesifik, apakah tentang penanganan kasus saja? Kami kan cuma dengar di media, mereka katanya angket sebagai bagian dari pengawasan, tapi pengawasan yang mana?" ujar dia, seperti dilansir Antara.
"Pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring atau penindakan? Mereka mana yang mau diangket? Semua atau salah satu? Tidak jelas, dokumen angketnya sendiri bahkan surat pemanggilan Miryam itu ditandatangani bukan oleh ketua pansus, tapi oleh Wakil Ketua DPR," Laode menandaskan.
Senin 19 Juni seharusnya Miryam S Haryani memenuhi panggilan pansus ke DPR. Tetapi, KPK menolak untuk mendatangkan Miryam ke hadapan Pansus Hak Angket KPK sehingga surat pemanggilan kedua pun akan segera dilayangkan kepada lembaga antirasuah itu.
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqulhadi menyebut, apabila dalam tiga kali pemanggilan Miryam S Haryani tidak juga dihadirkan, maka akan dilakukan penjemputan paksa.
"Itu akan berlaku undang-undang. Undang-undang yang berlaku MD3 Nomor 17 tahun 2014. Salah satu Pasal 204 mengatakan kalau tiga kali dipanggil tak hadir, akan dipanggil paksa dengan meminta polisi mengambil paksa," ujar Taufiq di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin 19 Juni 2017.
Menurut dia, apakah KPK akan memberikan izin atau tidak untuk menghadirkan Miryam, maka Undang-undang seperti itu akan tetap berlaku. Miryam akan tetap dijemput paksa dengan meminta bantuan pihak kepolisian.
Saksikan video menarik berikut: