Liputan6.com, Washington, DC - Seorang muslimah dibunuh sepulang menjalankan ibadah malam di masjid di Washington, Virginia utara, pada 18 Juni 2017 waktu setempat.
Korban bernama Nabra Hassanen, 17 tahun, berdomisili di Reston, Virginia utara. Kasus tersebut mengejutkan komunitas lokal yang menduga bahwa pembunuhan tersebut dilatarbelakangi oleh motif 'kejahatan karena kebencian (hate crime)'.
Seorang pelaku, bernama Darwin Martinez Torres berusia 22 tahun, telah ditangkap oleh kepolisian setempat. Demikian seperti yang dikutip dari The Guardian (20/6/2017).
Potensi hate crime merupakan salah satu motif yang dipertimbangkan oleh penyelidik kepolisian. Motif lain, seperti road rage (amarah saat berlalu-lintas) turut dipertimbangkan oleh polisi sebagai sebab-musabab pembunuhan.
"Saya rasa kasus itu ada hubungannya dengan cara Nabra mengenakan pakaian dan fakta bahwa ia adalah seorang muslim. Mengapa harus membunuh anak-anak? Apa salah anak saya hingga dia harus menerima hal tersebut?" kata Sawsan Gazzar, ibu korban.
Baca Juga
Advertisement
Peristiwa itu terjadi di All Dulles Area Muslim Society (ADAMS), wilayah komunitas muslim terbesar di utara Virgina. Saat itu, muslim di ADAMS tengah melaksanakan kegiatan ibadah malam Ramadan di masjid setempat.
Nabra merupakan salah satu peserta ibadah. Namun, ia bersama sejumlah temannya dari komunitas yang sama meninggalkan masjid lebih awal untuk berjalan-jalan, ujar Kepolisian Fairfax yang menangani kasus tersebut
"Menurut hasil penyelidikan, sekelompok remaja yang sedang berjalan-jalan itu terlibat dalam sebuah adu mulut dengan seorang pria di dalam mobil. Pria itu ternyata tersangka bernama Darwin A Martinez Torres, 22 tahun, dari Sterling, Virginia.
Kemudian, pria itu mengejar kelompok remaja tersebut, mendapati korban, dan menyerangnya," jelas keterangan dari Kepolisian Fairfax.
"Kelompok remaja itu terpisah dengan korban. Karena tak bisa menemukannya, para remaja itu kemudian menghubungi polisi," tambah keterangan kepolisian.
Korban dilaporkan hilang pada Minggu 18 Juni 2017 pukul 04.00 waktu setempat. Kepolisian mengerahkan patroli mobil dan helikopter untuk mencari Nabra.
"Di tengah pencarian, salah satu petugas kami melihat sebuah mobil yang berkendara secara mencurigakan. Kami menghentikan mobil tersebut. Ternyata pengemudinya adalah tersangka, Martinez Torres. Dan ia kami tahan," tambah Kepolisian Fairfax.
Tak lama kemudian, polisi menemukan jasad Nabra di sebuah kolam air di Sterling, tak jauh dari tempat penangkapan Torres. Sebuah tongkat pemukul bola kasti ditemukan di dekat lokasi penemuan mayat. Setelah itu, penyelidik mengisukan surat perintah penyidikan pembunuhan terhadap Torres.
Kemudian pada Senin 19 Juni 2017, meyakini bahwa kasus tersebut bermotif 'amarah saat berlalu-lintas' dan bukan sebuah kasus 'hate crime'.
Berdasarkan keterangan terbaru, Nabra dan sekitar 15 remaja lain yang sedang berkeliling menggunakan sepeda berpapasan dengan mobil yang dikendarai Torres. Adu mulut terjadi antara Torres dengan kelompok remaja tersebut.
Tak mampu menahan emosi, Torres menabrakkan kendaraannya ke salah satu remaja bersepeda. Merasa terancam, kelompok remaja tersebut berpencar melarikan diri dari Torres.
Masih menyimpan amarah, Torres memarkir kendaraannya di sebuah lahan parkir, keluar dari mobil dengan sebuah tongkat pemukul kasti yang sudah dibawa sebelumnya, dan mengejar para remaja tersebut.
"Kemudian Torres berhasil menangkap Nabra, melampiaskan emosinya ke korban dengan memukulnya menggunakan tongkat tersebut, hingga tewas. Jenazah kemudian dibawa Torres ke Loudoun, kemudian dibuang di sebuah kolam kecil. Korban ditemukan 11 jam kemudian. Sebuah trauma benda tumpul ditemukan di bagian atas tubuh korban," jelas kepolisian seperti yang dikutip dari The New York Times pada Selasa 20 Juni 2017.
Meski begitu, Jaksa Penuntut Umum Raymond F. Morrogh tidak menutup kemungkinan adanya potensi motif 'hate crime' pada kasus tersebut. Seiring proses penyelidikan, ujar Morrogh, potensi motif kejahatan karena kebencian mungkin saja ditemukan.
"Saya tak akan menepis kemungkinan itu dalam penyelidikan dan pemeriksaan," jelas Morrogh.
Terlepas dari dugaan motif yang masih simpang siur, Muslim dan komunitas lintas agama berduka atas kasus tersebut.
Melalui Twitter, Anggota Kongres AS Representasi Virginia menulis, 'hati kami pilu', merespons kasus pembunuhan Nabra.
Sementara itu, komunitas ADAMS menjelaskan, "Kami meminta seluruh anggota komunitas untuk berdoa untuk Nabra".
Gerakan masyarakat sipil di berbagai kota AS berencana untuk menyelenggarakan aksi duka cita massal atas kematian Nabra. Sejumlah kota itu antara lain, Boston, New York, Washington, dan Reston.
"Meski peristiwa itu belum berstatus sebagai kejahatan karena kebencian, kelompok termarjinalkan, seperti muslim perempuan, kerap menjadi korban kekerasan. Kasus ini jadi peringatan untuk menghentikan rantai jahat kekerasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan di penjuru negara," jelas Women Initiative for Self Empowerment.
Kasus kejahatan berlatar kebencian berbasis agama minoritas di AS menunjukkan angka yang memprihatinkan. Menurut FBI pada 2015, setidaknya ada 257 kasus 'hate crime' terhadap muslim yang dicatat dalam data resmi kepolisian. Angka itu naik sekitar 67 persen dari data 2014.
Belum lagi kasus 'hate crime' yang masuk dalam fenomena 'dark numbers of crime' atau sejumlah kasus yang tidak tercatat oleh data statistik resmi kepolisian.
"Kasus seperti itu (pembunuhan Nabra) merupakan serangan terhadap seluruh komunitas. Terlebih lagi ketika dunia sedang kerap dirundung kasus serupa. Kita harus bisa melakukan segala hal yang terbaik untuk mendukung komunitas dan menyayangi mereka," jelas Jaksa Agung Virgina dan mantan Senat AS Mark Herring.