Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi akan menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Maladewa Mohamed Asim pada Rabu 21 Juni 2017. Pertemuan itu akan diselenggarakan di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri RI.
Tujuan utama pertemuan kedua Menlu tersebut adalah untuk membahas kerjasama bilateral. Pada pertemuan nanti, keduanya akan membicarakan sejumlah isu, mulai dari kerjasama ekonomi hingga pertukaran informasi mengenai situasi terkini di masing-masing kawasan.
Baca Juga
Advertisement
Saat ini, Indonesia memandang Maladewa sebagai salah satu pangsa pasar non-tradisional. Namun, Kemlu RI menilai bahwa pendekatan yang dilakukan Tanah Air kepada negara dengan Ibu Kota Male itu masih minim. Pada tahun 2016 misalnya, nilai perdagangan kedua negara hanya mencapai US$ 39 juta dan sebagian besar surplus untuk Indonesia.
"Ada sejumlah potensi yang ingin kami gali dari pertemuan itu, khususnya di sektor pariwisata yang kami anggap cukup besar. Mengingat, penunjang ekonomi utama Maladewa adalah di sektor pariwisata. Dan saat ini, ada sekitar 1.400 WNI yang bekerja di sektor pariwisata Maladewa," jelas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir di Jakarta, Selasa (20/6/2017).
Potensi pariwisata tersebut yang ingin digali oleh Menlu RI, mengingat kedua negara giat melakukan aktivitas di sektor pariwisata. Jumlah wisatawan Indonesia yang melancong ke Maladewa pada 2015 mencapai 3.500. Sebaliknya, turis Maladewa yang berkunjung ke Tanah Air mencapai 1.900 pada 2015.
Tingginya hubungan people-to-people antara kedua negara membuat Kemlu RI berupaya untuk menjamin perlindungan WNI yang berkunjung ke Maladewa. Isu tersebut akan menjadi salah satu agenda yang akan dibahas saat Menlu Retno menjamu Menlu Asim.
Pada pertemuan nanti, turut terbuka kemungkinan bahwa kedua negara akan membahas soal krisis politik di kawasan Timur Tengah dan Teluk Arab. Krisis itu dipicu oleh peristiwa pemutusan hubungan diplomasi Arab Saudi, Maladewa Cs dengan Qatar.
"Meskipun fokusnya membahas isu bilateral, kedua Menlu akan membahas kondisi terkini di masing-masing kawasan. Salah satunya yang sedang hangat adalah situasi di Timur Tengah. Besar kemungkinan bahwa isu tersebut akan dibahas oleh mereka, juga terkait isu keamanan dan terorisme, akan diperhatikan," tambah Arrmanatha.
Maladewa Cs 'Memusuhi' Qatar
Pada 5 Juni 2017, Maladewa secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Negara kepulauan di Asia Selatan itu bergabung bersama Arab Saudi dan 8 negara lain yang melakukan pengucilan terhadap negara dengan Ibu Kota Doha tersebut.
Sejumlah faktor melandasi pengucilan tersebut. Alasan yang paling mencuat adalah tuduhan Arab Saudi Cs yang menyebut bahwa Qatar mendukung gerakan ekstremisme dan radikalisme.
Tuduhan ini telah lama dituduhkan kepada Qatar oleh sejumlah negara Teluk Arab. Mereka menilai Qatar mendukung kelompok ekstremisme seperti Ikhwanul Muslimin (dikenal di negara Barat dengan nama Muslim Brotherhood), hingga kelompok terorisme seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Qatar pun membantah tuduhan tersebut.
Profesor James Piscatori, Wakil Direktur Pusat Studi Arab dan Islam Australian National University, menjelaskan, tuduhan tersebut bukanlah hal baru yang terjadi di Teluk dan Timur Tengah.
Sejumlah negara di kawasan tersebut telah lama dan rutin menuduh Qatar mendukung dan mendanai organisasi ekstremisme seperti Front Al-Nusra, Hamas, dan Muslim Brotherhood, serta organisasi terorisme seperti Taliban, Al Qaeda, dan Lashkar Taiba.
Akan tetapi, Profesor Piscatori justru menilai bahwa tindakan "memusuhi" Qatar itu disebabkan oleh perkembangan yang mumpuni dan perbedaan haluan kebijakan luar negeri dari negara yang dipimpin oleh Emir Tamim bin Hamad al-Thani tersebut.
Piscatori juga menilai bahwa Arab Saudi --yang menjadi ujung tombak untuk mengasingkan Qatar-- tidak suka terhadap negara dengan Ibu Kota Doha itu.
Meski memiliki luas wilayah yang kecil, Qatar merupakan negara kaya penghasil gas alam cair terbesar di dunia, membuatnya memiliki pendapatan per kapita tertinggi di dunia.
"Qatar merupakan negara kecil yang sangat kaya, memiliki banyak uang, dan perhatian akan banyak tertuju kepadanya saat Piala Dunia 2022 nanti," jelas Profesor Piscatori.
Kekuatan media Qatar dengan ujung tombaknya, Al Jazeera, merupakan salah satu aspek yang menambah kedigdayaannya di Timur Tengah.
Selain itu, kebijakan luar negeri Qatar yang tidak hanya bertumpu pada koalisi negara Barat, namun juga menjalin relasi dengan negara non-Barat, semakin menguntungkan negara dengan ibu kota Doha tersebut.
Hal tersebut dinilai menjengkelkan Arab Saudi. Negara yang dipimpin oleh Raja Salman itu tidak suka terhadap diplomasi luar negeri Qatar yang tidak sesuai dengan haluan Arab Saudi.
"Qatar tampak tidak ingin 'bermain' dengan negara lain. Bahkan negara itu tidak tergabung dalam koalisi Gulf Cooperation Council yang dipimpin oleh Arab Saudi," jelas Piscatori.
Khusus untuk Maladewa, penyebab negara dengan Ibu Kota Male memusuhi Qatar dipicu oleh kedekatannya dengan Arab Saudi. Menurut laporan, Arab Saudi tengah menyiapkan proyek investasi sebesar US$ 10 miliar di Maladewa untuk sektor properti dan pariwisata. Demikian seperti yang dikutip dari thediplomat.com pada Selasa 20 Juni 2017.
Saksikan juga video berikut ini
Advertisement