Kisah 4 Presiden RI yang Lahir di Bulan Juni

Rupanya tak hanya Presiden Jokowi yang lahir pada bulan Juni. Tiga presiden RI lainnya juga lahir di bulan yang sama.

oleh Rochmanuddin diperbarui 21 Jun 2017, 14:02 WIB
Presiden RI yang lahir pada Juni. (Liputan6.com/Rochmanuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Bulan Juni tahun ini terbilang istimewa. Selain bertepatan dengan bulan suci Ramadan, juga menjadi bulan lahirnya Pancasila, yang jatuh pada 1 Juni.

Tak hanya itu, di bulan Juni Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga merayakan hari ulang tahunnya yang ke-56.

Rupanya tak hanya Jokowi yang lahir pada Juni. Tiga presiden RI lainnya juga lahir di bulan yang sama, yakni Presiden pertama RI Sukarno, Presiden kedua RI Soeharto, dan Presiden ketiga RI BJ Habibie.

Sukarno

Sukarno lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai di Surabaya pada 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo.

Namun, karena ia sering sakit-sakitan, ketika berumur 11 tahun namanya diganti menjadi Soekarno oleh sang ayah.

Nama tersebut konon diambil dari panglima perang dalam kisah Bharata Yudha, yakni Karna. Nama 'Karna' menjadi 'Karno' lantaran dalam bahasa Jawa, huruf 'a' berubah menjadi 'o'. Sedangkan awalan 'su' memiliki arti 'baik'.

Ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti sendiri menjadi Sukarno, karena menurut Presiden pertama RI itu, nama tersebut menggunakan ejaan Belanda.

Namun, Sukarno tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya. Karena tanda tangannya sudah tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan RI yang tidak boleh diubah.

Selain itu, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah pria yang akrab disapa Bung Karno itu berumur 50 tahun.

Sukarno meninggal pada Minggu 21 Juni 1970 di umur 69 tahun, saat dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Sebelum meninggal, dia menderita gangguan ginjal sejak lima tahun.


Soeharto

Presiden kedua RI Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada 8 Juni 1921. Ia lahir dari pasangan Sukirah dan Kertosudiro.

Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu atau pengatur irigasi, yang tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto kecil.

Dengan kondisi keluarga yang kurang beruntung, bayi Soeharto akhirnya diserahkan keluarga Sukirah kepada kakak perempuan Kertosudiro, pada umur 40 hari.

Soeharto kecil kerap berkutat dengan penggembalaan kerbau dan bertani, tidak seperti cerita-cerita anak seumurannya. Tempat tinggal dia juga berpindah pindah di tempat saudara orangtuanya.

Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh sang ayah ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri.

Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono, teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit.

Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah. Hal itu dilakukan karena di sekolah ini siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki atau sepatu.

Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya tak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan, tetapi gagal.

Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tak lama kemudian, dia minta berhenti.

Pada 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL), tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.

Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Di sinilah, karier militernya dimulai.

Soeharto meninggal di Jakarta pada 27 Januari 2008 di umur 86 tahun, atau beberapa bulan setelah dia lengser dari kursi presiden.


BJ Habibie

Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal BJ Habibie lahir 25 Juni 1936 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Dia adalah Presiden ketiga RI menggantikan Soeharto, yang mengundurkan diri dari jabatan pada 21 Mei 1998.

Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo.

Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian berasal dari etnis Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis, sedangkan ibunya beretnis Jawa.

RA Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogyakarta, dan ayahnya yang Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah.

Habibie kecil pernah menimba ilmu di SMAK Dago, Bandung, Jawa Barat. Ia belajar teknik mesin di Universitas Indonesia Bandung --Sekarang Institut Teknologi Bandung-- pada 1954.

Pada 1955-1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, dan menerima gelar diploma ingenieur pada 1960, serta gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.


Joko Widodo

Joko Widodo atau Jokowi yang kini menjabat Presiden ke-7 RI lahir 21 Juni 1961 di Surakarta, Jawa Tengah.

Jokowi berasal dari keluarga sederhana dari pasangan Noto Mihardjo dan Sudjiatmi. Semasa kecil, rumah Jokowi pernah digusur hingga tiga kali oleh Pemerintah Kota Solo.

Jokowi merupakan anak sulung dan putra satu-satunya dari empat bersaudara. Sebenarnya, Jokowi memiliki seorang adik laki-laki bernama Joko Lukito, namun meninggal saat persalinan.

Sebelum berganti nama, Jokowi memiliki nama kecil Mulyono. Ayahnya berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah, sementara kakek dan neneknya berasal dari desa di Boyolali.

Karena lahir dari keluarga sederhana, Jokowi mengenyam pendidikan di SD Negeri 112 Tirtoyoso, yang dikenal sebagai sekolah kalangan menengah ke bawah.

Dengan kesulitan hidup yang dialami, Jokowi terpaksa berdagang, mengojek payung, dan bahkan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri biaya keperluan sekolah dan uang jajan sehari-hari.

Saat anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, ia harus berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, ia mulai bekerja sebagai penggergaji pada umur 12 tahun.

Jokowi kecil juga mengalami penggusuran rumah hingga tiga kali. Penggusuran ini mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya, setelah menjadi Wali Kota Surakarta saat harus menertibkan permukiman warga.

Setelah lulus SD, Jokowi melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Surakarta. Lulus SMP, ia ingin masuk ke SMA Negeri 1 Surakarta, namun gagal. Alhasil, ia masuk SMA Negeri 6 Surakarta.

Jokowi kemudian menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Setelah lulus, dia menekuni profesinya sebagai pengusaha mebel.

Karier politiknya dimulai dengan menjadi Wali Kota Surakarta pada 2005. Namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil mengubah wajah Kota Surakarta menjadi kota pariwisata, kota budaya, dan kota batik.

Pada 20 September 2012, Jokowi berhasil memenangi Pilkada Jakarta 2012. Kemenangannya dianggap mencerminkan dukungan populer untuk seorang pemimpin muda dan bersih. Pada Juli 2014, Jokowi memenangkan pemilihan presiden dan akhirnya dilantik menjadi Presiden ke-7 RI pada Oktober 2014. 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya