Menlu AS Telepon Menteri Retno, Singgung Pertemuan Jokowi - Trump

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menelepon Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, membahas isu Qatar hingga Marawi.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Jun 2017, 14:37 WIB
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson (Kemlu RI, US Department of State, KBRI)

Liputan6.com, Jakarta - Pada Selasa 20 Juni 2017, tepatnya pukul 20.17, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menelepon Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Informasi tersebut disampaikan langsung oleh Menlu Retno dalam konferensi pers di Jakarta.

"Kemarin, tepatnya pukul 20.17 WIB, Menteri Luar Negeri AS menelepon saya. Kami memang sudah janjian dalam beberapa hari terakhir ini untuk melakukan komunikasi via telepon," jelas Menlu Retno Marsudi dalam konferensi pers pasca-menyambut kunjungan kenegaraan Menlu Maladewa di Jakarta, Rabu (21/6/2017).

Menurut Menlu Retno, ada tiga isu yang dibahas dalam sambungan telepon tersebut, yakni krisis Teluk dan Timur Tengah, persiapan pertemuan multilateral G20, serta isu terorisme, khususnya di kawasan Asia Tenggara.

Terkait pembahasan krisis Teluk, kedua Menlu menyampaikan kontribusi masing-masing untuk meredakan tensi serta mengupayakan dialog antara Arab Saudi Cs dengan Qatar.

"Terkait isu Qatar, saya sampaikan kembali posisi Indonesia. Kami juga meminta kepada AS untuk memberikan kontribusi agar situasi tidak memburuk dan supaya dialog dapat dilakukan. Dan pada sambungan telepon itu, Rex Tillerson mengatakan bahwa AS berkomitmen untuk memberikan kontribusinya, dan sampai saat ini masih berkomunikasi dengan berbagai pihak agar dialog dapat dilakukan," ujar Menlu Retno Marsudi yang menjelaskan inti pembicaraan telepon dengan Rex Tillerson.

Sambungan telepon itu juga membahas soal G20 Summit yang rencananya akan dilaksanakan pada 7 - 8 Juli 2017 nanti. Indonesia dan AS --merupakan anggota G20-- akan hadir dalam forum multilateral rutin yang membahas isu sektor pemerintahan dan perbankan tersebut.

"Saya juga bicara mengenai persiapan G20, terutama adanya rencana pertemuan bilateral antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di sela-sela pertemuan G20," tambah perempuan alumni Universitas Gadjah Mada itu.

Isu lain yang dibahas adalah mengenai potensi kerjasama antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam penanganan ancaman terorisme.

Terlebih lagi, Presiden Trump memuji pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam-Amerika di King Abdulaziz Convention Center, Riyadh pada 21 Mei 2017. Dalam forum yang mengangkat isu terorisme sebagai agenda pembahasan utama itu, Presiden RI menyampaikan pentingnya kerja sama internasional dalam pemberantasan radikalisme dan terorisme.

Momentum itu, menurut Retno, dapat dimanfaatkan untuk rencana kerjasama Indonesia - AS dalam isu terorisme.

"Menlu AS mengatakan bahwa saat pertemuan KTT di Riyadh, pidato presiden Joko Widodo menimbulkan kesan impresif bagi Presiden Trump, dan ingin menindaklanjuti isi pidato tersebut dengan kemungkinan-kemungkinan kerjasama yang dapat dilakukan dalam konteks countering terrorism," ujar perempuan berusia 54 tahun itu.

Selain itu, Rex Tillerson turut membahas soal situasi di Marawi, serta peran signifikan Indonesia dalam isu terorisme di kawasan. Menlu AS itu juga mengapresiasi pertemuan trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina 22 Juni 2017 nanti yang akan membahas penanganan terorisme di kawasan tiga negara.

"Menlu AS mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia dengan menginisiasi pertemuan trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina yang akan dilaksanakan esok. Dan menteri luar negeri AS mengatakan bahwa pertemuan itu merupakan wujud dari kepemimpinan Indonesia di kawasan," jelas Menlu Retno.

Saksikan juga video berikut ini


Pertemuan Trilateral Jilid II, Singgung Marawi dan Terorisme

Indonesia, Filipina, dan Malaysia akan mengadakan pertemuan trilateral yang bertempat di Manila, pada 22 Juni 2017. Agenda utama pertemuan itu akan membahas isu keamanan dan terorisme di kawasan tiga negara.

Kabar itu disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa 20 Juni 2017.

Agenda itu merupakan edisi kedua pertemuan trilateral antara ketiga negara. Jilid pertama sempat dilaksanakan di Yogyakarta pada 5 Mei 2016. Agenda utama pada pertemuan lalu membahas isu keamanan maritim di kawasan tiga negara.

Kini, isu yang diangkat pada pertemuan trilateral tersebut adalah mengenai isu keamanan dan terorisme. Urgensi diangkatnya isu itu terkait situasi pertempuran di Marawi, Provinsi Lanao del Sur, Mindanao, Filipina selatan.

"Pertemuan itu akan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Panglima Angkatan Bersenjata, Kepala Kepolisian, badan penanggulangan atau kontra terorisme, dan badan intelijen dari masing-masing negara. Mereka akan membahas tentang perkembangan situasi di Filipina selatan, Marawi salah satunya, dan dampaknya terhadap kawasan tiga negara," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir.

Poin pembahasan dalam pertemuan tersebut difokuskan pada tiga aspek. Pertama adalah pertukaran informasi tentang kondisi terkini, tantangan, hambatan, dan potensi kerjasama terkait situasi di Marawi.

Aspek kedua, ketiga negara akan menyampaikan masalah terorisme yang tumbuh di kawasannya menggunakan perspektif kewilayahan masing-masing.

"Khususnya terkait dengan keterlibatan warga dari tiga negara yang terlibat menjadi foreign fighters di Marawi dan kawasan lain. Seperti yang kita tahu sempat ada laporan terkait WN Indonesia dan Malaysia yang turut bertempur di sana. Kita juga akan coba memperbaharui informasi tersebut," ucap Arrmanatha.

Ketiga, pertemuan trilateral itu akan membahas prospek jangka panjang kooperasi tiga negara untuk melakukan pencegahan tumbuhnya terorisme, radikalisme, dan ekstremisme di kawasan masing-masing. Khususnya dalam konteks kontrol perbatasan, pertukaran intelijen, dan kooperasi penegakan hukum.

"Bahwa kini penanganan untuk isu terorisme bukan hanya pada pemberantasannya saja atau berfokus pada law enforcement approach, namun juga pada aspek pencegahannya. Kita juga menekankan pada aspek soft power approach, yakni dengan penguatan kapasitas sosial masyarakat serta pemberdayaan ekonomi," tambah Arrmanatha.

Pertemuan trilateral di Manila pada 22 Juni 2017 nanti masih merupakan taraf diskusi antara perwakilan masing-masing negara, khususnya untuk penyelarasan pandangan terkait isu keamanan dan terorisme di kawasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Adapun kebijakan konkret untuk isu keamanan dan terorisme di tahun-tahun ke depan, baru dapat dirancang setelah pertemuan trilateral di Manila nanti, menggunakan hasil pembahasan dari masing-masing perwakilan negara.

"Mekanismenya sama seperti pertemuan trilateral di Yogyakarta Mei 2016 lalu. Isunya dibahas terlebih dahulu oleh masing-masing negara, barulah dibuat kebijakan konkretnya, berupa prosedur operasi standar misalnya. Pertemuan di Manila nanti sama," kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, melengkapi pernyataan Arrmanatha.

"Namun prediksinya, kebijakan konkret untuk isu terorisme dapat dibentuk lebih cepat ketimbang kebijakan konkret isu keamanan maritim tahun lalu. Dulu kita mulai dari nol. Tapi sekarang, pasca-trilateral di Yogyakarta, kita sudah punya landasannya," tambah Iqbal.

Pihak Kemlu menyampaikan bahwa pertemuan trilateral nanti mampu menghasilkan hasil luaran yang beragam. Mulai dari kebijakan yang bersifat pencegahan dengan pendekatan pemberdayaan hingga keterlibatan otoritas penegakan hukum maupun angkatan bersenjata masing-masing negara untuk membantu isu terorisme di tiga kawasan.

"Namun lagi, kebijakan itu harus memperhatikan konstitusi. Kita sangat menekankan agar kebijakan yang diproduksi dari pertemuan trilateral nanti tetap menghargai konstitusi dari masing-masing negara," jelas Arrmanatha.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya