Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, serta menteri Kabinet Kerja lain akan bertolak ke Brussels, Belgia pada Juli mendatang. Pemerintah Indonesia bakal memperjuangkan produk kelapa sawit nasional untuk melawan resolusi sawit yang dikeluarkan Parlemen Uni Eropa.
Hal itu disampaikan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto usai rapat koordinasi kunjungan ke Uni Eropa di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (22/6/2017). "Rapat ini persiapan kunjungan Pak Menko ke Uni Eropa, Brussels. Kita bahas materi-materi yang perlu dibawa, salah satunya soal resolusi sawit Parlemen Uni Eropa," katanya.
Lebih jauh Airlangga menuturkan, selain Uni Eropa, Norwegia juga ikut-ikutan membuat resolusi sawit yang melarang penggunaan minyak sawit dalam biodiesel. Untuk diketahui, resolusi Parlemen Uni Eropa terkait dengan sertifikasi produk sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit.
"Selain Parlemen Uni Eropa, Norwegia juga membuat resolusi mengenai sawit. Kalau eksekutif maupun duta besar mereka mengatakan keputusan Parlemen tidak mengikat, Indonesia perlu menjawab isu-isu yang dilempar Uni Eropa," terangnya.
Baca Juga
Advertisement
Untuk menyampaikan keberatan atas resolusi sawit Parlemen Uni Eropa, Airlangga mengaku, pemerintah Indonesia akan langsung berbicara dan melobi pemerintah Uni Eropa. Namun demikian, pemerintah akan membahas masalah ini dengan Malaysia sebagai bagian dari dewan negara-negara penghasil kelapa sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC).
"Kita akan bicara dengan eksekutifnya dari Uni Eropa. Kita kan juga punya CPOPC dengan Malaysia, jadi kita akan bahas dengan Malaysia," tandas Airlangga.
Untuk diketahui, Parlemen Eropa dalam resolusinya merekomendasikan tanaman sawit di Indonesia diganti dengan rapeseed dan sun flower. Hal tersebut karena Sawit dianggap ramah lingkungan.
Namun, pemerintah Indonesia tidak bisa menerima tuduhan tersebut. “Semua stigma negatif itu berasal dari informasi yang tidak berdasar. Karena dari berbagai penelitian, semuanya itu tidak terbukti,” ujar Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bedjo Santoso belum lama ini.
Menurut data yang dia miliki, tanaman sawit justru lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jenis tanaman hutan. Salah satunya, dari sisi penyerapan air, sawit justru lebih efisien.
Dalam setahun, sawit menyerap air 1.104 milimeter, lebih sedikit jika dibandingkan tanaman sengon (1.355), jati (1.300), mahoni (1.500), maupun pinus (1.975).
Sementara itu dari sisi penyerapan karbondioksida (CO2), sawit justru lebih banyak menyerap CO2 jika dibandingkan dengan empat tanaman hutan tersebut.
Bahkan, tiap hamparan sawit seluas 1 hektare (ha) mampu menyerap CO2 sebanyak 36 ton. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman sengon yang hanya mampu menyerap CO2 sekitar 18 ton, jati (21 ton), mahoni (25 ton), dan pinus (20 ton).
Menurut dia, informasi yang menuduh sawit menyebabkan kerusakan berasal dari pesanan negara lain dengan tujuan melindungi komoditas minyaknya, seperti tanaman rapeseed, sun flower (bunga matahari), maupun soyben (kedelai).
“Padahal justru tanaman sawit justru lebih efisien menggunakan lahan jika dibandingkan dengan tanaman rapeseed, bunga matahari, maupun kedelai itu. Perbandingannya sekitar 1 berbanding 10,” tutur dia.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: