Liputan6.com, Jakarta - Malam yang dinaungi langit cerah tanpa bintang, di tengah lautan tenang nyaris tanpa riak, namun situasi di dek Kapal Titanic tak sehening alam di sekitarnya.
Panik melanda. Orang-orang berebut naik sekoci untuk menyelamatkan diri. Hanya butuh waktu 2 jam dan 40 menit bagi Titanic untuk karam, usai menabrak gunung es di tengah Laut Atlantik.
Di antara para penumpang yang melakukan segala macam cara untuk selamat, termasuk para pria yang sengaja menyamar sebagai perempuan agar boleh masuk sekoci -- ada beberapa orang yang tetap bertahan di ruang Marconi, untuk mengirim sinyal darurat hingga saat-saat terakhir.
Baca Juga
Advertisement
Juga sang kapten yang tetap bertahan di ruang kendali kapal. Mereka yang sudah pasrah menghadapi maut mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang terkasih. Di tengah kebingungan dan prosedur penyelamatan yang kacau, ada delapan pria yang terus memainkan musik penyemangat.
Mereka adalah anggota band orkestra Titanic, yang berasal dari berbagai bangsa. Semuanya naik dari Southampton, dan dicatat sebagai penumpang kelas dua.
Georges Krins, Roger Bricoux, dan Theodore Brailey memainkan violin, cello, dan piano.
Lalu ada kwintet yang dipimpin oleh Wallace Hartley, seorang pemain biola dan pemimpin band yang resmi.
Kwintet ini juga menampilkan bassis, John Frederick Preston Clarke; dua pemain cello, Percy Cornelius Taylor dan John Wesley Woodward; juga John Law Hume, yang juga pemain biola.
Saat kapal menabrak gunung es dan mulai tenggelam, anggota band, yang dipimpin oleh Hartley, terus bermain musik. Sayangnya, mereka semua kehilangan nyawa.
Jasad Hartley adalah yang pertama ditemukan. Pemakamannya dihadiri ramai orang.
Seorang penumpang kelas dua menyaksikan detik-detik terakhir para pemusik.
"Banyak hal yang berani dilakukan malam itu, tapi tidak ada yang lebih heroik daripada yang dilakukan oleh para pria yang memainkan musik menit demi menit saat Titanic kian tenggelam di lautan," kata dia seperti dikutip dari The Vintage News, Kamis (22/6/2017).
John Hume, seperti anggota orkestra Hartley lainnya, berasal dari Amalgamated Musicians’ Union, yang dipekerjakan White Star Line lewat sebuah perusahaan di Liverpool, C.W. & F.N. Black, yang terkenal sebagai agen musisi untuk kapal angkut Inggris.
Namun, yang mengejutkan adalah setelah tenggelamnya Titanic, ayah Hume menerima surat dari perusahaan tersebut. Isinya adalah tagihan uang seragam.
Dear Sir:
We shall be obliged if you will remit us the sum of 5s. 4d., which is owing to us as per enclosed statement.
We shall also be obliged if you will settle the enclosed uniform account.
Yours faithfully,
C.W. & F.N. Black
Total, tagihannya adalah 14 shilling dan 7 pence. Andrew Hume menolak untuk membayarnya.
Ia kemudian mengirim pesan ke Amalgamated Musicians’ Union, yang kemudian mempublikasikannya dalam jurnal bulanan mereka tanpa disertai pesan.
Sampai tahun 1912, para musisi digaji 6 pound dan 10 shilling sebulan, ditambah uang saku bulanan masing-masing 10 shilling . Namun, kemudian dipotong menjadi 4 pound per bulan dan tidak ada tunjangan seragam.
Tentu saja, surat tersebut mengejutkan keluarga musisi, yang telah kehilangan orang yang mereka cintai di Titanic. Mereka tak habis pikir mengapa pihak perusahaan masih tega menagih uang seragam.