Liputan6.com, Seoul - Enam bulan sudah ketegangan melanda Semenanjung Korea. Mayoritas pengamat Korea Utara menilai situasinya berbahaya.
Namun atmosfer panas tersebut tidak mendorong Amerika Serikat dan Korea Utara angkat senjata. Boleh jadi hal tersebut disebabkan karena pemimpin kedua negara tahu persis biaya Perang Korea yang terjadi 67 tahun lalu fantastis.
Advertisement
"Jika solusinya adalah militer, ini akan menjadi tragis dalam skala yang luar biasa," ujar Menteri Pertahanan James Mattis dalam sebuah konferensi pers pada bulan lalu seperti Liputan6.com kutip dari CNN pada Jumat (23/6/2017).
Perang Korea, yang secara teknis belum berakhir, menyebabkan kematian sekitar 600.000 warga Korut dan 1 juta warga sipil Korea Selatan serta ratusan ribu tentara. Jika perang kembali pecah sekarang, maka bencana yang lebih besar mungkin terjadi mengingat momok senjata nuklir.
"Ancaman perang di semenanjung -- perang besar atau terbatas -- telah berlangsung sejak akhir Perang Korea," ungkap seorang ahli dari organisasi penelitian dan advokasi kebijakan publik Center for American Progress, Adam Mount.
"Baik AS secara historis maupun Korut telah membuktikan bahwa mereka dapat menahan diri, mengurangi krisis (dan) melangkah mundur dari jurang perang...Mereka berdua tertarik untuk menghindari perang yang tidak diharapkan oleh siapapun," tambahnya.
Sementara situasi tegang di Semenanjung Korea dapat meningkat dengan cepat, dinilai ada sejumlah skenario yang dapat dimainkan. Mulai dari yang sangat parah seperti serangan nuklir hingga serangan artileri skala kecil yang tidak berujung pada perang habis-habisan, layaknya yang terjadi pada tahun 2010.
"Bagian sulit dari mendiskusikan sesuatu seperti ini adalah kemungkinan kontingensi luas yang sangat bervariasi tentang kerusakan perang. Tantangannya adalah mencoba mengendalikan eskalasi," terang Mount.
Jika perang meletus maka bahaya terbesar akan mengintai kota berpenduduk padat seperti Seoul dan Tokyo. Serangan nuklir ke dua ibu kota tersebut akan menjadi bencana besar, namun serangan dengan senjata konvensional pun diperkirakan dapat membunuh puluhan ribu orang.
"Pertempuran dalam Perang Korea kali ini akan berlangsung di pinggiran kota Seoul yang ramai. Perencana perang kita memperkirakan pasukan AS dan Korsel akan menghadapi pasukan Korut di Seoul utara, maka harga pertahanan akan berat," tutur Ash Carter dan William Perry, dua mantan menteri pertahanan AS pada tahun 2002.
"Ribuan tentara AS dan puluhan ribu tentara Korsel akan terbunuh dan jutaan pengungsi akan memadati jalan raya. Kerugian di pihak Korut bahkan jauh lebih besar. Intensitas tempur akan jauh lebih hebat dibanding yang disaksikan dunia sejak Perang Korea terakhir," ungkap keduanya.
Roger Cavazos dari Nautilus Institute dalam studinya pada tahun 2012 menyebutkan, akan ada sekitar 3.000 korban dalam beberapa menit pertama serangan artileri Korut ke Korsel. Sementara pada hari pertama, Cavazos memprediksikan setidaknya 64.000 orang menjadi korban.
Korut dilaporkan dapat menembakkan rudal balistiknya ke pasukan AS, Korsel, dan Jepang (atau populasi sipil) di seluruh kawasan tersebut.
Menurut ahli dari platform intelijen geopolitik Amerika, Stratfor, Korut memang jauh dari sisi teknologi dan kapabilitas militer. Persenjataan mereka mungkin saja kedaluwarsa atau tidak berfungsi dengan baik.
Meskipun angkatan udara dan angkatan laut kalah jauh dibanding AS, namun keduanya merupakan ancaman. "Bahkan tanpa ancaman nuklir, menyerang Korut merupakan jaminan kehancuran besar-besaran sebagai gantinya," ungkap ahli dari Stratfor.
Ancaman Nuklir
Jika perang skala penuh meletus, fokus utama AS adalah menghapuskan ancaman nuklir Korut.
Menurut ahli dari platform intelijen geopolitik Amerika ,Stratfor, angkatan udara AS dapat menggunakan 24 pesawat taktis F-22 dan 10 pesawat pengebom B-2 untuk menghilangkan infrastruktur nuklir Korut.
Pesawat F-22 dapat membawa dua bom seberat 450 kilogram. Sementara bomber B-2 mampu menyebar bom besar untuk menjangkau bunker Korut.
"Karena sifat unik mereka, platform yang mahal dan tersembunyi ini akan menjadi tulang punggung operasi anti-nuklir," kata analis dari Stratfor.
AS juga akan mengandalkan rudal jelajah Tomahawk, yang dapat ditembakkan dari laut dengan jarak ratusan mil menuju target. Namun, tingkat kerusakan akibat Tomahawk akan menjadi persoalan besar lain.
"Angkatan Laut AS (dengan waktu persiapan yang cukup) secara diam-diam dapat memarkir dua dari empat kapal selam kelas-Ohio pengangkut rudal di pantai Korut. Ketika dikombinasikan dengan kapal perusak dan kapal penjelajah dari Armada ke 7 yang sudah berada di wilayah tersebut, AS dapat menggunakan lebih dari 600 rudal jelajah untuk misi itu," ungkap ahli dari Stratfor.
Masalah krusialnya adalah intelijen -- tidak jelas berapa banyak senjata nuklir yang dimiliki Korut atau tepatnya di mana keberadaannya.
AS memiliki kesulitan untuk mengumpulkan informasi semacam itu. Bahkan mantan direktur CIA Michael Hayden menyebut, Korut merupakan target intelijen tersulit di Bumi. Tanpa informasi tersebut, AS akan gagal menghilangkan ancaman nuklir Korut.
"Sebelum akhir masa jabatan Presiden Trump, Korut mungkin dapat menjangkau Seattle dengan senjata nuklirnya...," tutur Hayden.
Sebuah perang konvensional kemungkinan akan menyebabkan tergulingnya rezim Kim Jong-un jika China selaku sekutu utama Korut tidak turun tangan. Pemangku kebijakan Korut diyakini menyadari hal ini.
Karena itu, meski mereka kerap melakukan tindakan provokatif seperti peluncuran rudal, namun mereka melakukannya dengan hati-hati demi menghindari respons militer dari musuh.
"Pada akhirnya, prioritas utama Korut adalah ketahanan dan kelangsungan rezim, jadi setiap langkah mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa garis merah AS tidak dilewati," kata Tong Zhao, seorang ahli di Carnegie-Tsinghua Center for Global Policy di Beijing
Jika AS dan Korsel berhasil menjatuhkan rezim Kim dengan cepat, maka akan terjadi serangkaian komplikasi pasca-perang.
Infrastruktur nuklir Pyongyang kemungkinan akan kurang aman dan dapat jatuh ke tangan yang salah. Konflik dapat memicu krisis pengungsi. Perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan ini diikuti oleh negara-negara yang mengejar kekuatan lebih besar, memicu ketidakstabilan.
"Hasil keruntuhan rezim Korut akan menjadi bencana dan memicu perlombaan berbahaya antara China dengan pasukan AS-ROK (Republik Korea) yang berusaha mengamankan lokasi strategis dan simbolis seperti fasilitas nuklir Yongbyon dan Pyongyang," tulis Andrew Injoo Park dan Kongdan Oh untuk Biro Riset Nasional Asia.
China khawatir dengan hal tersebut. Selama ini Beijing menilai Pyongyang merupakan penyangga strategis antara dirinya dengan Korsel yang merupakan sekutu AS.
Jika Korut jatuh, itu dapat menyebabkan Korea yang bersatu bersekutu dengan AS di mana pasukan Negeri Paman Sam akan berada tepat di perbatasan Tiongkok.
Di Seoul, para pembuat kebijakan mengkhawatirkan biaya perang. Perkiraan dari Kantor Anggaran Majelis Nasional Korsel pada tahun 2014, penyatuan kembali Korsel-Korut akan menelan biaya sekitar US$ 9,2 triliun dengan rentang waktu selama 45 tahun.
Selain itu, muncul persoalan lain. Sejumlah orang menolak penyatuan kembali Korut dan Korsel.
Simak video berikut:
Advertisement