Liputan6.com, Doha - Emir Qatar, Sheikh Khalifa bin Hamad al-Thani sedang berlibur di Jenewa, Swiss, saat gonjang-ganjing terjadi di istananya. Hari itu, 26 Juni 1995, pada usianya yang ke-63, ia dilengserkan paksa dari singgasana.
Pelakunya adalah anak lelakinya sendiri, sang putra mahkota, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani.
Kudeta berlangsung tanpa pertumpahan darah. Perebutan kekuasaan hanya ditandai dengan pengiriman tentara ke Istana Rayyan, kediaman sang emir, dan ke Bandara Doha.
Baca Juga
Advertisement
"Saya tak senang dengan apa yang telah terjadi. Namun, itu harus dilakukan dan saya harus melakukannya," kata Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani dalam sebuah pidato di televisi usai menggulingkan ayahnya, seperti dikutip dari Independent.
Sejumlah anggota senior keluarga al-Thani yang berkuasa di Qatar, yang jumlahnya sekitar 1.500 orang, berkumpul di ibu kota Doha. Mereka menyatakan kesetiaannya pada pemimpin yang baru.
Di sisi lain, Sheikh Khalifa bin Hamad al-Thani tak terima digulingkan dari kekuasaannya. Ia bersumpah akan kembali ke Qatar, apapun yang terjadi.
Ia menyebut, kudeta tersebut sebagai, "perilaku abnormal seorang yang bodoh".
"Saya masih emir mereka yang sah, apakah itu untuk keluarga kerajaan, untuk rakyat, atau untuk tentara. Saya akan kembali, berapapun harga yang harus saya bayar," kata dia.
Sang emir yang terguling meminta dukungan sejumlah pemimpin Teluk dan negara lainnya.
Namun, tak lama setelah kudeta, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Washington DC mengatakan, AS mengakui emir baru -- setelah menerima penjelasan dan jaminan soal hubungannya dengan Iran dan Irak.
Meski wilayahnya tandus, keberuntungan masih berpihak pada Qatar. Negara tersebut berdiri di atas North Field, ladang gas terbesar di dunia -- yang menyimpan 5 persen cadangan gas alam dunia.
Pada masa kepemimpinannya, Khalifa menyaksikan modernisasi yang cepat di negaranya. Cadangan gas alam yang besar telah mengubah Qatar menjadi salah satu negara terkaya di dunia per kapita.
Kudeta, meski hanya terjadi di internal keluarga kerajaan, bikin khawatir negara-negara Teluk dan para pendukungnya -- yang semuanya merasa sangat rentan terhadap ancaman internal dan eksternal.
Emir baru, Sheikh Hamad, yang kala itu berusia 45 tahun mengaku di depan rapat kabinet, sebuah kondisi darurat memaksanya mengambil alih kekuasaan di negaranya.
"Menggantikan ayah saya, yang akan tetap menjadi ayah yang dihormati dan dicintai siapapun," kata dia, tanpa menjelaskan apa gerangan kondisi darurat yang 'memaksanya'.
Sheikh Hamad menjadi putra mahkota sejak 1977. Ia adalah tokoh paling terkemuka, setelah sang emir, pada dekade 1980-an. Pengaruhnya bahkan dianggap melampaui sang ayah.
Tindakannya untuk merebut kekuasaan dari ayahnya diduga dipicu upaya sang emir untuk merebut kembali otoritasnya yang hilang.
Kudeta tersebut tak disambut antusias oleh para pemimpin negara-negara Arab yang kaya minyak.
Sebab, Sheikh Hamad selalu menganjurkan sebuah kebijakan luar negeri yang independen. Sementara, sang ayah dikenal dekat dengan Riyadh.
Berbeda dengan kebijakan Arab Saudi -- dia memiliki hubungan baik dengan Iran, yang menginginkan kerja sama pengelolaan ladang gas alam North Field di lepas pantai. Di sisi lain, Sheikh Hamad memulihkan hubungan dengan Irak.
Tak hanya itu, emir baru itu juga menegosiasikan kesepakatan soal gas senilai US$ 1 miliar dengan Israel.
Meski bersumpah untuk kembali berkuasa, berapapun biaya yang harus dibayar, Sheikh Khalifa, dia tidak kembali ke tanah airnya sampai 2004. Mantan emir Qatar itu jarang tampil di depan publik hingga kematiannya pada 2006.
Kudeta pada 22 tahun lalu itu kini dianggap menjadi salah satu akar penyebab pemutusan hubungan Arab Saudi.
Pada Senin 4 Juni 2017 lalu, Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar.
Langkah negara yang dipimpin oleh Raja Salman diikuti oleh sejumlah negara, yakni Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain.
Tak lama setelah itu, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania mengambil langkah serupa. Sementara, Yordania mengambil jalan yang sedikit berbeda. Tidak memutuskan, namun Yordania men-downgrade hubungannya dengan Qatar.
Pemutusan hubungan dilakukan saat kepemimpinan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Selain kudeta di Qatar, sejumlah peristiwa penting terjadi pada tanggal 26 Juni.
Pada 196, Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy mengunjungi Tembok Berlin dan dalam pidatonya mengucapkan kalimat "Ich bin ein Berliner".
Sementara, pada 26 Juni 1945 menjadi momentum penandatanganan Piagam PBB.
Saksikan juga video menarik soal Qatar di bawah ini: