Liputan6.com, Semarang Hari raya Idul Fitri di Indonesia memiliki nilai tambah yang tak ada dalam budaya Islam. Selain halalbihalal adalah tradisi sungkeman. Ini tentu melengkapi etalase kecerdasan manusia Jawa yang sangat adaptif terhadap budaya yang masuk.
Budayawan dan novelis Umar Khayam (almarhum) pernah menyebutkan bahwa tradisi Lebaran merupakan langkah kuda akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa mudik (kembali ke udik/kembali ke kampung halaman) juga merupakan etalase kecerdasan budaya Indonesia. Umar Khayam menyebutkan bahwa istilah Lebaran tak bisa lepas dari peran para priyayi yang sangat gemar bermain simbol. Istilah Lebaran juga tak dikenal dalam budaya Islam.
Baiklah. Mari kita ngobrol tentang sungkeman saja. Banyak nilai yang bisa kita ambil manfaatnya dari tradisi khas ini. Biasanya sungkem dilakukan selepas salat Id. Selain itu juga dilakukan ketika seseorang meminta restu kepada orang yang lebih tua dan dihormati.
Menurut budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, secara teknis sungkem bisa digambarkan sebagai duduk bersimpuh atau berjongkok sambil mencium tangan orang yang lebih tua. Dalam catatan sejarah, tradisi sungkeman pertama kali didokumentasikan dan dilembagakan pada masa pemerintahan KGPAA Sri Mangkunegara I.
Baca Juga
Advertisement
"Saat itu beliau bersama prajuritnya berkumpul bersama dan saling bermaafan saat merayakan Idul Fitri," kata Djawahir kepada Liputan6.com, Sabtu 24 Juni 2017.
Meskipun mulai dilembagakan, situasi politik dan keamanan saat itu, menyebabkan Mangkunegara tak leluasa menggelar tradisi sungkeman. Kolonial Belanda mencurigai tradisi sungkeman sebagai pertemuan terselubung untuk melawan mereka.
"Pada 1930, saat prosesi sungkeman di Gedung Habipraya, Belanda nyaris menangkap Insinyur Sukarno dan dokter Radjiman Widyodiningrat yang waktu itu menjabat sebagai dokter pribadi Sri Paku Bowono (PB) X, raja Keraton Surakarta," kata Djawahir.
Dalam kajian Djawahir Muhammad, sungkeman membawa dampak baik bagi kualitas hidup seseorang. Setidaknya mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa tanpa hadirnya orangtua dalam kehidupannya.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Obat Sakit Hati
Muncul kesadaran orangtua wajib diperlakukan secara hormat oleh seluruh anak-anaknya. Sikap tubuh seseorang yang merendah dan dengan tulus meminta maaf kepada orang yang telah berjasa dalam hidupnya juga menjadi sarana menghilangkan ego pribadi," kata Djawahir.
Sungkeman juga bisa dianggap sebagai wujud ucapan rasa terima kasih. Dalam pernikahan, prosesi sungkeman adalah wujud rasa terima kasih dari anak kepada orangtuanya yang telah berjasa melahirkan dan membesarkannya. Selain itu, sungkeman adalah awal bagi anak untuk meminta izin kepada orangtua sebelum memasuki kehidupan berumah tangga serta memohon doa dan restu dari mereka berdua.
"Melalui sungkeman, diharapkan bisa memulihkan hubungan yang telah rusak. Dengan sungkeman, rasa sakit hati terobati dan rasa percaya dipulihkan," kata Djawahir.
Bukan tradisi Islam?
Dalam ajaran Islam, sesungguhnya saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya. Minta maaf harus segera dilakukan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain.
Djawahir kemudian mengutip Al Quran yakni surat Al Imran ayat 134 bahwa Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
"Di Indonesia bisa jadi akan lebih simpel jika dilakukan usai salat Id. Selain karena emosi sudah meluruh sehingga permintaan dan permohonan maaf lebih tulus. Selain itu, dengan saling meminta maaf, seseorang tidak merasa dipermalukan di depan umum," kata Djawahir.
Sungkem bukan menunjukkan rendahnya derajat dan martabat seseorang. Namun justru menunjukkan perilaku mulia. Tujuan sungkem saat Idul Fitri selain untuk menghormati, juga sebagai permohonan maaf, atau "nyuwun ngapura". Istilah "ngapura" bisa jadi berasal dari bahasa Arab "ghafura" yang berarti tempat pengampunan.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?
"Inilah kecerdasan tradisi kita. Hari Lebaran dijadikan momentum saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus)," kata Djawahir.
Advertisement