Teladan Kebinekaan di Desa Pancasila

Ujian pertama kerukunan antarumat beragama di Desa Balun terjadi tak lama setelah Peristiwa G30S.

oleh Gde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 28 Jun 2017, 18:03 WIB
Desa Balun dari udara (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Lamongan - Salib terpasang di salah satu dinding rumah sederhana itu. Namun, di sisi dinding yang lain, terdapat kaligrafi Arab, petikan dari Alquran.

Di rumah yang terletak di RT 01, RW 03 Desa Balun, Lamongan, Jawa Timur itu, Rikanto dan keluarganya tinggal. Muntani, mertua Rikanto yang juga tinggal di sana, memeluk Kristen. Sementara, Rikanto, istri, dua anaknya, dan satu cucu, menganut Islam.

Tak ada kekisruhan di rumah itu. Mereka hidup harmonis. Toleransi tampak nyata saat Ramadan. Muntani dengan tulus menyiapkan segala keperluan berbuka untuk menantu, anak, dan cucunya.

Hal yang sama dilakoni Muntani menjelang sahur. Meski tidak berpuasa, pada pagi buta, Muntani menyiapkan hidangan.

Demikian pula sebaliknya. Menjelang 25 Desember, Rikanto ikut menghiasi seisi rumah dengan nuansa Natal. Setiap hari Minggu, ia juga tak bosan mengingatkan sang mertua untuk ke gereja.

“Kami bisa dan biasa menghormati perbedaan agama,” ujar Rikanto, pertengahan Juni lalu.

Rikanto mengaku pelajaran tentang toleransi selama ini diperoleh dari keluarga dan lingkungan sekitar. Laki-laki kelahiran 1969 itu menambahkan, toleransi yang ia pegang teguh ditanamkan sejak kecil.

Sejatinya Rikanto dilahirkan dalam keluarga Kristen. Namun, beranjak dewasa dia memutuskan untuk memeluk Islam. Tidak hanya Rikanto, dua kakaknya juga memilih jalan serupa. Meski ketiga anaknya memilih keyakinan berbeda, ibunda Rikanto, Karti, bisa menerima.

Ia masih mengingat apa yang diajarkan sang ibu. Menurut Karti, memilih agama adalah hak masing-masing individu yang tidak dapat dibatasi. Kala itu, Karti hanya berpesan: apa pun agama yang dianut, pelajari dan amalkan dengan benar.

Lingkungan sekitar juga tidak mempersoalkan ketika saat itu Rikanto menukar iman. Hubungan dengan tetangga tetap terjalin baik.

Menurut Rikanto, hal ini merupakan salah satu keistimewaan Desa Balun. Buat warga Balun, yang terpenting adalah giat bekerja.

“Prinsipnya orang Balun itu bekerja. Itu yang dipegang teguh. Soal perbedaan agama, sama sekali tidak ada masalah,” ungkap Rikanto.

Di Balun, bukan hanya ada penganut Islam dan Kristen. Terdapat juga pemeluk Hindu. Data terakhir, penganut Islam berjumlah 3.748 orang, Kristen 692, dan Hindu 281.


Balun, Perwujudan Indonesia dengan Nilai Pancasila

Sawah dan tambak terhampar di sisi jalan menuju Desa Balun, Lamongan, JawaTimur. Desa berjarak lebih kurang 4 km dari pusat kota Lamongan itu dihuni 4.721 warga. Sementara, luasnya mencapai 621.103 hektare.

Sebagian besar warga bekerja sebagai petani dan petambak. Mereka dikenal memiliki etos kerja yang tinggi.

Tak cukup hanya mengolah ladang, pada pagi hari, banyak warga Balun berbondong-bondong ke pasar untuk mencari penghasilan tambahan. "Mereka di pasar menjadi tukang angkut atau yang lain.” tutur warga Balun yang lain, HeriSuparno.

Giat mengejar nafkah tak lantas membuat warga Desa Balun menjadi individualis. Ikatan sosial tetap terjalin erat. Tak jarang mereka bergotong royong ketika salah satu penganut agama hendak melaksanakan ritual.

Gereja Kristen Jawi merupakan salah satu rumah ibadah yang berdiri berdekatan dengan masjid dan pura di Desa Balun (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Ketika Idul Fitri, misalnya, warga pemeluk Kristen dan Hindu juga turut meramaikan malam takbiran dengan pesta kembang api. Begitu juga ketika malam Natal, pemeluk Islam dan Hindu juga turut berpartisipasi menjaga kelangsungan acara. Sementara saat umat Hindu merayakan Nyepi, warga lain turut membuat dan meramaikan pawai ogoh-ogoh.

Suasana harmonis telah terjalin sejak lama. Heri menyatakan, selama 48 tahun tinggal di Desa Balun, dia tidak pernah menjumpai konflik antarwarga desa gara-gara perbedaan agama.

Menurut Heri, hal ini lantaran ada ajaran toleransi yang diwariskan turun-temurun. Selain itu juga ada tokoh yang dituakan dari masing-masing agama.

Ada suatu ketika saat hadir warga asing yang berupaya memecah belah kerukunan. "Orang tersebut tidak mau bertegur sapa dengan warga beragama Kristen atau selain penganut Islam. Ia juga membimbing anak pesantren supaya jangan mau berteman dengan bukan pemeluk Islam," ujar Heri. 

Namun, warga tidak terprovokasi. Justru akhirnya orang tadi yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai setempat.

Berkat suasana harmonis yang terwujud, tujuh tahun silam, Balun menyandang sebutan Desa Pancasila. Tulisan "Desa Pancasila" terpampang di gapura ketika hendak memasuki Balun.

Kepala Desa Balun, Khusyairi, menyatakan, "Sebutan Desa Pancasila itu banyak sumbernya. Setiap orang luar yang berkunjung, entah mahasiswa atau peneliti, menyebut Desa Balun sebagai Desa Pancasila."

Pada 2010, warga sepakat merumuskan kampung mereka sebagai Desa Pancasila.


Nilai-Nilai Warisan Leluhur

Alkisah pada 1600-an, Balun yang kini tampak asri masih berupa rawa-rawa. Dulu nama daerah tersebut bukan Balun, melainkan Candipari.

Nama Balun diperoleh dari "Mbah Alun," sosok tersohor kala itu. Dalam Babad Sembar, dia disebut masih memiliki hubungan darah dengan Raja Blambangan. Sosok yang mempunyai nama asli Sunan Tawang Alun I itu juga merupakan murid dari Sunan Giri III.

Dalam perjalanan hidupnya, dia memutusan untuk menetap di Candipari. Di sana, dia membangun permukiman dan menyebarkan ajaran Islam. Dalam berdakwah, Mbah Alun dikenal sebagai sosok yang toleran terhadap keyakinan lain.

Mbah Alun dimakamkan di Candipari, desa yang kini bernama Balun. Meski sudah berlalu empat abad silam, makam Mbah Alun masih kerap didatangi peziarah.

Juru kunci makam Mbah Alun, Muhammad Ainul Rofik, menuturkan, sebagian besar peziarah justru datang dari luar kota. "Mereka datang dari Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, dan daerah-daerah lain," ungkap Rofik.

Waktu para peziarah sowan ke makam Mbah Alun beragam. Ada yang rutin pada Jumat Kliwon, sebelum musim tanam, atau setelah acara pernikahan. Selain itu, Makam Mbah Alun juga menjadi tempat ziarah bagi warga ketika memperingati hari jadi Kabupaten Lamongan setiap 26 Mei.

Dari sekian banyak cerita tentang sosok Mbah Alun, ada satu ajarannya yang hingga kini menjadi pegangan bagi warga Desa Balun. Ajaran tersebut yakni sikap toleran antarumat beragama.

"Mbah Alun mengajarkan bahwa perbedaan agama bukan merupakan suatu masalah," tutur Rofik.

Infografis Desa Balun (Liputan6.com/Triyasni)

Ujian pertama kerukunan umat beragama di Balun terjadi tak lama setelah G30S. Pada 1967, agama Kristen mulai diperkenalkan. Sosok yang menyebarkan adalah Bathi, salah satu sesepuh di Desa Balun.

Berhulu dari adanya pembersihan pada orang-orang yang dituding terlibat PKI, termasuk para pamong desa. Akibatnya terjadi kekosongan pemerintahan desa. Maka, untuk menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit TNI untuk menjadi pejabat sementara. Bathi yang diberi amanat.

Saat itu, Bathi baru pulang tugas dari Irian Jaya (kini Papua). Kemudian dia menyebarkan Kristen di Balun. Tak ada gejolak.

Sementara, embrio kehadiran Hindu di Desa Balun bermula dengan dipeluknya ajaran Sapto Darmo. Baru pada 1970, pemeluk Sapto Darmo menganut Hindu.

Sebagai "pendatang", Kristen dan Hindu tumbuh perlahan. Mulai melakukan ibadah di rumah tokoh agama masing-masing. Ketika kemudian pemeluk baru bertambah, baru mereka mulai membangun tempat  ibadah.

Kini, di salah satu titik Balun, berdiri Masjid Miftahul Huda, Gereja Kristen Jawi Wetan, serta Pura Sweta Maha Suci. Letak ketiganya berdekatan. Tegak berdampingan dalam harmoni.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya