Liputan6.com, Waingapu - Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama yang memuja nenek moyang dan leluhur.
Pemeluk agama Marapu percaya, bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Setelah akhir zaman, mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara keagamaan Marapu seperti upacara kematian dan sebagainya, selalu dilengkapi penyembelihan hewan, seperti kerbau dan kuda, sebagai korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus dijaga di Pulau Sumba.
"Orang Sumba percaya, bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain," ujar Umbu Makam Bumbu, salah satu penganut Marapu, Sabtu, 24 Juni 2017.
Menurut Umbu Makam, Marapu merupakan tradisi masyarakat untuk menghormati leluhur atau arwah nenek moyang. Menurut penganut Marapu, manusia tidak bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, melainkan harus melalui perantara leluhur.
"Bukan pemujaan, tetapi permohonan kepada Tuhan melalui leluhur. Sampai sekarang kami masih melakukan ritual atau liturgi dengan leluhur," kata Umbu Makam.
Baca Juga
Advertisement
Untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur, masyarakat di Kampung Adat Prai Yawang, Desa Rindi memiliki salah satu rumah khusus yang disebut Uma Diawa (rumah leluhur/arwah). Rumah ini tidak dihuni oleh para penganut Marapu.
"Uma Diawa tidak dihuni. Rumah ini dipercaya sebagai tempat istirahat arwah. Jika ada penganut Marapu yang meninggal dunia, sebelum dikuburkan mayatnya dinaikkan ke Uma Diawa," kata Umbu Makam.
Sebelum dimakamkan, jasad penganut Marapu keturunan raja dimasukkan kulit kerbau. Jasad itu baru dibungkus dengan kain setelah tiga hari kematian. Bahkan, ada jasad dimasukkan dalam kulit kerbau hingga 10 tahun.
Penganut Marapu juga memiliki simbol kepercayaan terhadap berbagai jenis hewan. Kuda sebagai simbol jangan sombong, kerbau simbol keberanian, ayam dan babi lambang kepemimpinan, sedangkan udang simbol bahwa ada kehidupan setelah di dunia.
"Makanya, di atas kuburan penganut Marapu selalu ada lambang hewan," tutur Umbu Makam.
Tamu Rambu Ana Intan, penjaga rumah besar (rumah adat Haparuna/Uma Bokul) mengatakan, jasad penganut Marapu diawetkan menggunakan Bunga Walahanggi. Bunga itu akan dikeringkan dan disimpan di tempat duduk mayat. Penganut Marapu dikuburkan dalam posisi duduk.
"Jika mayat wanita dipakai sarung adat 60 lembar, mayat lelaki juga sama dipakai kain 60 lembar," kata Tamu Intan.
Selama jasad dinaikkan ke rumah besar, masyarakat penganut Marapu melakukan liturgi doa Hamayang yang dipimpin oleh Ama Bokul Hamayang (tua adat Marapu). Hamayang merupakan doa kepada leluhur yang bertujuan menyampaikan ke leluhur agar siap menerima arwah orang yang meninggal.
Di musim kemarau, para penganut Marapu menggelar ritual Puru Lama Nanga, yakni doa kepada leluhur untuk meminta hujan. Sebelum ritual Puru Lama, masyarakat menggelar ritual pengakuan dosa dipimpin oleh Ama Bokul Hamayang (tua adat Marapu) dengan pembunuhan satu ekor babi.
"Dagingnya harus dimakan habis tidak boleh ada sisa. Ritual itu dihadiri 80 marga dari keturunan Marapu," kata Tamu Rambu.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: