Liputan6.com, Jakarta Cile adalah tim terbaik dunia. Rasanya banyak yang menahan tawa ketika Arturo Vidal mengatakan hal itu beberapa tahun silam. Jangankan di peta persepakbolaan dunia, di Amerika Selatan saja, pamor Cile jauh di bawah Brasil, Argentina, bahkan masih belum terlalu jauh dari Uruguay. Jadi, mengatakan Cile sebagai tim terbaik tentu lelucon yang amat menggelikan. Mungkin Vidal tengah bermimpi.
Bisa jadi itu memang cuma mimpi. Tapi, tidak ada yang salah dengan hal itu. Seperti kata pepatah, gantungkanlah mimpimu, cita-citamu, setinggi langit. Lagi pula, bukankah tidak ada yang mustahil di dunia ini?
Baca Juga
Advertisement
Selain mimpi, ucapan itu juga bisa diartikan sebagai janji dan tekad Vidal bagi Cile. Sama seperti janjinya menjadikan sang ibu menjadi "ratu" yang tak perlu bekerja kasar demi memberi sesuap nasi kepada anak-anaknya. Dan Vidal selalu menepati kata-katanya.
Kini, perlahan namun pasti, kata-kata Vidal mendekati kenyataan. Cile memang belum bisa dikatakan sebagai tim terbaik dunia. Namun, siapa pun tak akan memungkiri, La Roja saat ini termasuk jajaran tim elite dunia. Siapa pun akan jeri bila harus menghadapi Cile.
Bukti sahihnya adalah keberhasilan Cile lolos ke final Piala Konfederasi setelah mengandaskan Portugal, sang juara Eropa, lewat drama adu penalti di semifinal. Ini memang hanya Piala Konfederasi, ajang yang oleh Jerman hanya dijadikan arena mengasah para pemain muda. Namun, patut dicatat, ini adalah final ketiga bagi La Roja dalam tiga tahun beruntun!
Sebelumnya, Cile menembus final Copa America 2015 dan Copa America Centenario 2016. Dalam dua laga puncak itu, mereka berhasil mengalahkan Argentina. Dua kesuksesan itu mungkin dipandang sebelah mata karena diraih lewat drama adu penalti. Tapi, lolos ke tiga final beruntun tentu bukan cuma berkat keberuntungan, kan?
Sebelum Cile, tim terakhir yang lolos ke final dalam tiga tahun beruntun adalah Argentina. Tim Tango lolos ke partai puncak Piala Dunia 2014, Copa America 2015, dan Copa America Centenario 2016. Berbeda dengan Cile, Argentina selalu gigit jari. Di Brasil 2014, mereka kalah 0-1 dari Jerman. Lalu, di dua Copa America, Cile yang memecundangi mereka.
Generasi Emas
Tak bisa dimungkiri, walaupun masih terlalu "lebay" untuk disebut sebagai tim terbaik dunia, Vidal cs. adalah generasi emas sepak bola Cile. Dulu, negeri ini memang pernah punya generasi Leonel Sanchez pada 1960-an, lalu Ivan Zamorano dan Marcelo Salas pada 1990-an hingga 2000-an. Namun, generasi itu tak menghasilkan trofi. Ini yang jadi pembeda sekaligus keunggulan utama Vidal dkk. Mereka adalah tonggak sejarah karena membawa Cile untuk kali pertama juara di Copa America.
Kepada La Tercera, Vidal pernah berujar, "Selain perubahan mentalitas, tak bisa disangkal bahwa kami saat ini memiliki pemain-pemain terbaik dalam sejarah sepak bola Cile dalam satu masa yang sama. Kelompok pemain kelahiran 1980-an dengan dua pelatih jempolan: Jorge Sampaoli dan Juan Antonio Pizzi yang membuat segalanya terwujud."
Kesuksesan Vidal cs. saat ini tidaklah instan. Pilar-pilar skuat La Roja di Piala Konfederasi sudah bersama-sama tak kurang dari satu dekade. Mereka adalah bagian dari tim yang finis di posisi ke-3 Piala Dunia U-20 pada 2007. Sebut saja Mauricio Isla, Vidal, Alexis Sanchez, dan Gary Medel.
Artinya, generasi emas Cile ini tidak menghasilkan prestasi secara instan. Butuh waktu satu windu bagi Vidal dkk. dari timnas U-20 hingga memberikan gelar bagi timnas senior Cile. Itu juga tak terlepas dari kiprah para pemain yang bergabung ke klub-klub Eropa. Vidal, Alexis, Medel, Isla, dll. mendapatkan tambahan ilmu berharga.
Hal itu diakui Alexis. "Saya sangat berterima kasih kepada Barcelona. Di sanalah saya berkembang, baik sebagai pribadi maupun pesepak bola. Saya belajar banyak dari rekan-rekan setim. Saya pun menjadi lebih dewasa," terang eks penggawa Udinese itu kepada Diario As.
Kiranya kisah Cile saat ini bisa menjadi pelajaran bagi persepakbolaan Indonesia, dalam hal ini timnas Indonesia. Selain mendorong timnas junior berkiprah di Piala Dunia level junior, sangat penting juga mendorong para pemain muda untuk bergabung dengan klub-klub luar negeri. Jika tak bisa ke Eropa, bolehlah ke sesama negara Asia yang sudah lebih maju. Ini adalah katalisator bagi mereka untuk naik tingkat karena kualitas kompetisi sepak bola di dalam negeri yang begitu-begitu saja.
Tak perlu muluk-muluk berharap langsung bergabung dengan klub-klub teras Eropa macam Barcelona, Real Madrid, dan Manchester United. Lihatlah Vidal yang bergabung lebih dulu dengan Bayer Leverkusen sebelum membela Juventus dan Bayern Muenchen. Demikian pula Alexis yang cuma merapat ke Udinese sebelum memperkuat Barcelona dan Arsenal.
Advertisement
Menuju Kesempurnaan
Kembali ke timnas Cile. Andai juara di Piala Konfederasi kali ini, Vidal cs. kian dekat dengan kesempurnaan. Tiga final, tiga trofi. Tak ada yang lebih indah dari hal tersebut. Tentu akan benar-benar sempurna bila tahun depan mereka bisa menjuarai Piala Dunia.
Jikapun masih terlalu jauh, sebenarnya kesuksesan di Piala Konfederasi juga bisa dikatakan hasil sempurna bagi Cile. Pasalnya, andai itu dilakukan, mereka berhasil mengungguli sang juara dunia yang juga ikut serta di ajang ini. Vidal cs. bisa lebih membusungkan dada.
Lain dari itu, hal yang membuat para penggawa Cile bisa lebih berbangga hati, mereka telah menaklukkan dua "alien" di kancah sepak bola saat ini. Secara berturut-turut, mereka membuat Messi menangis di final Copa America. Lalu, pada semifinal Piala Konfederasi, giliran Cristiano Ronaldo yang dibuat gigit jari.
Memang benar, kemenangan atas dua pemain terbaik dunia tersebut digapai lewat drama adu penalti. Namun, kemenangan tetaplah kemenangan. Itu tetap saja akan jadi kenangan indah bagi Vidal cs. Di samping itu, seperti diinginkan Vidal, kemenangan fenomenal itu bisa jadi inspirasi bagi generasi pesepak bola Cile berikutnya.
"Saya berharap generasi masa depan pesepak bola Cile akan memiliki mentalitas lebih dan melampaui pencapaian kami," tutur Vidal. "Bukan membandingkan dengan kami, tapi mereka bisa menggunakan mentalitas kami yang selalu berani bertarung dan mengimbangi tim-tim macam Argentina dan Jerman sekalipun."
Apa pun hasil yang nanti diraih di final Piala Konfederasi, rasanya Vidal, Alexis, Medel, Isla, Jean Beausejour, Claudio Bravo, dkk. sangat sah untuk mengklaim sebagai generasi emas sepak bola Cile. Mereka telah melakukan hal yang tak bisa dilakukan generasi-generasi sebelumnya. Ingatlah generasi Luis Figo dkk. yang sempat disebut sebagai generasi emas sepak bola Portugal. Mereka kini tinggal kenangan hampa karena kegagalan meraih trofi bergengsi.
Trofi juara adalah lambang kesahihan sebuah generasi emas. Itu pula yang begitu membuat gusar Philipp Lahm jelang Piala Dunia 2014. Menurut dia, generasinya bersama Bastian Schweinsteiger, Per Mertesacker, Lukas Podolski dkk. tak bisa disebut generasi emas andai gagal membawa Jerman juara dunia. Vidal cs. dengan dua trofi Copa America sudah menggapai kesahihan tersebut. Kesahihan itu pun menjadi sangat mutlak bila mereka berhasil menjuarai Piala Konfederasi.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.
Saksikan video menarik berikut ini: