Liputan6.com, Jakarta Begitu masuk ruang terapi tempat praktik hipnoterapi, gadis manis ini langsung bertanya, “Tante, aku gila enggak?” Mendengar pertanyaannya, seketika saya tersenyum sambil memandangi remaja yang saat datang masih mengenakan seragam SMA negeri itu.
“Enggak sih, kamu baik-baik saja,” jawab saya.
“Tuh ‘kan Ma, aku enggak gila,” sahutnya.
“Emang siapa yang bilang kamu gila?”
“Tahu tuh… Mama…”
Saya lantas meminta Tiwi, sebutlah begitu namanya, untuk pindah ke ruang tunggu sambil mengisi intake form, sementara saya berbincang dengan ibunya. Sang ibu lantas bercerita bahwa putri tunggalnya itu disarankan keluar dari sekolah karena dianggap mengalami gangguan jiwa.
Rekaman CCTV di sekolah menunjukkan perilakunya sering tidak terkendali. Antara lain tiba-tiba memukuli atau menendangi teman-temannya, baik di dalam maupun di luar kelas. Tiwi kadang juga teriak-teriak mengomeli murid-murid lain yang sedang berlatih di lapangan olahraga.
Jauh sebelum itu, Tiwi pernah mengeluh kepada ibunya bahwa ia di-bully di sekolah. “Karena khawatir dampaknya, saya segera bawa dia ke psikolog,” ujar sang ibu. Ternyata masalah tidak selesai di situ. Selanjutnya Tiwi malah melakukan banyak ulah sehingga ibunya sering dipanggil ke sekolah.
Advertisement
Itulah sebabnya dia lantas membawa putrinya ke psikiater. Namun karena Tiwi enggan minum obat, diajaklah ia bertemu saya untuk melakukan sesi hipnoterapi.
Meniru Idola
Ketika Tiwi masuk kembali ke ruang praktik, sekali lagi dia bertanya apakah dirinya gila. Dan sekali lagi saya menjawab bahwa dia waras. “Tidak ada tanda-tanda kamu gila,” kata saya menenangkan, seraya memintanya duduk di kursi terapi yang lebih nyaman.
Setelah melakukan qualifying (interview mendalam) dan menjelaskan tentang hipnoterapi, saya bombing Tiwi menuju rileksasi yang sangat dalam supaya bisa mengakses memori dan emosinya. Dalam proses terapi, bawah sadar Tiwi mengakui bahwa ia sering melakukan kekerasan terhadap teman-temannya. Saya lantas bertanya apa alasannya. Jawabannya sungguh di luar dugaan.
“Aku enggak boleh diam. Kalau di-bully itu harus melawan,” ujarnya.
“Memangnya kamu di-bully?....... Siapa yang mem-bully kamu?...... Diapain kamu?”
Tiwi diam saja hingga beberapa saat. Dia seperti mencari-cari jawaban setiap pertanyaan yang saya ajukan. Ibarat komputer, dia sedang loading data. Karena tak kunjung menjawab, saya ulangi pertanyaan dengan nada dan volume suara yang lebih lembut dan lirih.
“Ada yang mem-bully kamu?”
Kali ini dia menggeleng. Rupanya tidak ada data bullying yang muncul.
“Kalau begitu, siapa yang di-bully?”
“Taylor Swift,” tukasnya. Gubraaak!
Singkat kata, remaja yang nilai akademiknya selalu ranking teratas ini adalah pengagum berat penyanyi asal Amerika itu. Dia pernah membaca bahwa sang idola yang dikenal cerdas itu pernah di-bully. Tanpa disadari, bawah sadar Tiwi telah mengopi data bullying dan dimasukkan sebagai program pada dirinya. Maka Tiwi lantas merasa telah di-bully.
Ketika bertemu psikolog, Tiwi dan ibunya menceritakan adanya pengalaman di-bully. Oleh karena itu, terapis perilaku tersebut memberi nasihat dan trik-trik kepada Tiwi untuk melakukan perlawanan pada saat di-bully.
Masalahnya adalah, baik sang ibu maupun psikolognya tidak tahu bahwa bullying itu hanya ada di pikiran bawah sadar Tiwi. Dia tidak benar-benar di-bully, tetapi nasihat untuk tidak berdiam diri telah dipraktikkan di sekolah, ketika muncul gambaran tertentu yang dipersepsikan oleh pikiran bawah sadarnya sebagai situasi bullying. Itu maka rekaman CCTV menunjukkan Tiwi tiba-tiba, tanpa alasan jelas, melakukan kekerasan sehingga dikira gila.
“Oh syukurlah anak saya baik-baik saja. Jadi sekarang saya harus menjelaskan ke sekolahnya,” kata sang Ibu saat saya beritahu bahwa puterinya tidak benar-benar di-bully.
Advertisement
Catatan:
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari pengalaman Tiwi dengan cerita bully-nya?
Salah satu mekanisme terjadinya masalah di pikiran bawah sadar adalah identifikasi. Maksudnya, tanpa disadari seseorang telah mengopi atau meniru (mengidentifikasi) figur otoritas yang dihormati atau dikagumi. Yang dikopi atau ditiru bukan hanya keunggulan atau kebaikannya, tapi juga bisa penyakit, perilaku atau pun pengalaman hidupnya. Tiwi telah mengidentifikasi bullying pada Taylor Swift idolanya.
Sebagai orangtua kita tidak bisa dan tidak perlu melarang anak-anak memiliki idola. Namun kita perlu mengingatkan supaya anak-anak hanya boleh meniru kebaikan atau keunggulan mereka saja, untuk memotivasi pengembangan diri.
Orangtua sebaiknya tidak buru-buru panik saat anak-anak bercerita tentang sesuatu yang tidak menyenangkan. Dengarkan mereka, dan pelajari apa yang sebenarnya terjadi, baru memberi respon atau mengambil keputusan.