Liputan6.com, Jakarta - Menurut Kriminolog dan pakar media, Gregg Barak, dalam bukunya yang berjudul 'Media, Process, and the Social Construction of Crime: Studies in Newsmaking Criminology', media massa berperan penting dalam membentuk persepsi khalayak umum tentang fenomena kejahatan.
Dan salah satu sub-fenomena kejahatan yang banyak dipengaruhi oleh produk-produk media adalah, bagaimana publik mempersepsikan pembunuh berantai.
Sejak lama, karya literatur klasik, novel fiksi, serial televisi, hingga film layar lebar banyak mempengaruhi persepsi sosial mengenai pelaku pembunuh berantai. Misalnya, sejak novel 'Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde' dipublikasikan pertama kali pada 1886, beberapa masyarakat mengira bahwa pembunuh berantai memiliki kondisi 'kepribadian yang terpecah'.
Baca Juga
Advertisement
Atau ketika film Silence of the Lamb dengan tokoh ikoniknya, Dr. Hannibal Lecter, populer di kalangan publik. Dan sejak itu, sejumlah khalayak menyangka bahwa pembunuh berantai memiliki level kognitif di atas rata-rata, seperti Hannibal.
Berbagai produk media seperti itu ternyata dianggap menyajikan informasi ilmiah tentang pembunuh berantai secara tidak seimbang. Beberapa di antaranya merupakan informasi berbasis sains, namun, tak sedikit pula yang hanya sekedar isapan jempol belaka.
Seiring waktu, derasnya arus media massa yang tak terbendung menciptakan fenomena miskonsepsi publik dalam mempersepsikan pembunuh berantai.
Dan masyarakat kerap mengidentifikasikan pembunuh berantai, sebagaimana gambaran Jekyll and Hyde atau Dr Hannibal Lecter.
Berikut, 4 miskonsepsi yang populer di persepsi masyarakat mengenai pembunuh berantai, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Listverse.com, Senin (3/7/2017).
Saksikan juga video berikut ini
1. Seluruh Pembunuh Berantai adalah Laki-Laki
Miskonsepsi ini sangat menyebar luas di masyarakat. Bahkan, aparat penegak hukum pun turut memiliki persepsi keliru tersebut. Pada 1998, Roy Hazelwood, pakar profiler dan analis kejahatan seksual, mengatakan bahwa 'tidak ada pembunuh berantai perempuan.'
Pernyataan keliru tersebut ia sampaikan ketika 85 - 90 persen kasus pembunuhan berantai yang terjadi di masa itu dilakukan oleh laki-laki. Namun, ternyata ada sekitar 15 - 10 persen pelaku pembunuh berantai perempuan.
Miskonsepsi bahwa 'seluruh pembunuh berantai adalah laki-laki' tersebar luas di publik akibat pengaruh media massa. Berita pada masa itu, lebih 'menyukai' kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pria dengan nuansa kasus yang brutal. Pemberitaan kasus tersebut banyak menarik perhatian dan simpati publik, sehingga menaikkan rating berita.
Yang tak disadari oleh publik pada masa itu adalah bahwa ada pula perempuan yang melakukan pembunuhan berantai. Namun, kasus seperti itu jarang diberitakan karena media 'tidak menyukai' kasus pembunuhan dengan pelaku perempuan.
Pada masa itu, adalah fakta bahwa kasus pembunuhan --termasuk jenis berantai-- yang dilakukan oleh perempuan cenderung memiliki 'nuansa yang kurang brutal' jika dibandingkan dengan pelaku laki-laki. Perempuan yang menjadi pelaku pembunuhan lebih memilih menggunakan cara-cara yang 'cerdas dan bersih', seperti menggunakan racun.
Sehingga, pada masa itu media jarang memberitakan kasus tersebut karena tidak terlalu menarik simpati publik dan dianggap tidak terlalu signifikan dalam menaikkan rating berita. Minimnya pemberitaan akan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan, memicu menyebarnya miskonsepsi bahwa 'seluruh pembunuh berantai adalah laki-laki'.
Advertisement
2. 'Tiga Karakteristik Wajib' Pembunuh Berantai
Pada 1963, seorang psikiater bernama John Macdonald menulis artikel ilmiah berjudul 'The Threat to Kill' dan dipublikasikan dalam American Journal of Psychiatry.
Pada artikel itu, Macdonald mempostulatkan 3 karakteristik wajib yang dapat ditemukan dalam riwayat hidup setiap pembunuh berantai, yang populer disebut sebagai 'the triad of sociopathy' atau 'the homicidal triad'.
Tiga karakteristik itu antara lain, (1) suka atau memiliki riwayat sering membunuh hewan, (2) memiliki riwayat sebagai seorang arsonis atau membakar benda secara sengaja, dan (3) memiliki riwayat mengompol hingga usia remaja. Tiga karakteristik itu disimpulkan oleh Macdonald setelah meneliti 100 subjek penelitian.
Macdonald juga mempostulatkan bahwa ketiga faktor tersebut seiring waktu akan berkontribusi sebagai karakteristik khusus seseorang untuk melakukan perilaku kekerasan. Namun, oleh industri perfilman Amerika Serikat, tiga postulat tersebut dimanfaatkan sebagai materi film-film seputar pembunuhan.
Sejak itu, 'the homicidal triad' menjadi karakteristik khusus dalam setiap film dan serial televisi pembunuhan berantai yang diproduksi Hollywood. Dan akhirnya, miskonsepsi itu tersebar dan tertanam luas di seluruh persepsi masyarakat.
Setelah berbagai penelitian tentang nuansa pembunuhan berantai terbaru dipublikasikan, kini 'the homicidal triad' telah kehilangan relevansi-nya di dunia akademik dan juga industri perfilman.
3. Setiap Pembunuh Berantai Merupakan Sadistik Seksual
Sempat beredar di kalangan masyarakat bahwa pembunuh berantai melakukan aksinya atas dorongan motif seksual.
John Wayne 'The Killer Clown' Gacy dari Amerika Serikat misalnya, telah membunuh 33 anak dan remaja, yang didorong oleh motif seksual.
Atau di Indonesia, terkenal Very Idham 'Ryan Jombang' Henyansyah yang membunuh 11 orang. Beberapa korban diduga memiliki kedekatan secara seksual dengan Ryan -- meski ada juga di antaranya korbannya yang pasangan ibu dan anak.
Banyaknya kasus dengan motif serupa Gacy dan Ryan, serta intensnya pemberitaan media, membuat miskonsepsi 'pembunuh berantai bermotif sadistik seksual' menjadi populer di masyarakat.
Akan tetapi, menurut sejumlah riset yang dilakukan oleh para kriminolog, pembunuh berantai tak hanya didorong oleh motif sadistik seksual.
Penelitian James DeBurger dan Ronald Holmes misalnya, berhasil membuat tipologi motif pembunuh berantai menjadi sejumlah faktor, meliputi; (1) berorientasi pada kuantitas korban, (2) hedonistik, (3) visioner, dan (4) mengekspresikan kekuasaan atau kontrol.
Sementara itu, penelitian Radford University menunjukkan lima motif utama, seperti thrill seekers (pencari ketegangan), lust seekers (haus untuk memenuhi hasrat), power seekers (haus akan kekuasaan), keuntungan finansial, dan ekspresi kemarahan. Hasrat seksual hanya merupakan sub-motif dari lust seekers.
Advertisement
4. Seluruh Pembunuh Berantai adalah Jenius atau Orang Gila
Miskonsepsi ini dipengaruhi oleh kepopuleran tokoh Hannibal Lecter dalam karya literatur Thomas Harris yang diadopsi menjadi film hingga serial televisi, seperti The Silence of the Lambs (1991, pemenang Oscar kategori Film Terbaik) Hannibal (2001 dan serial televisi pada 2012), Red Dragon (2002), dan Hannibal Rising (2006).
Karakter Hannibal merupakan psikiater dengan level kognitif tinggi, namun memiliki tendensi sebagai seorang pembunuh berantai. Ia juga terkenal melakukan pembunuhan secara sadis.
Dan sejak film tersebut beredar, masyarakat mengira bahwa pembunuh berantai pasti merupakan kombinasi antara jenius dan/atau orang gila.
Namun, menurut analisis Federal Bureau of Investigation (FBI), sangat sedikit sekali pembunuh berantai yang memiliki karateristik sebagai orang gila. Menurut FBI, hampir sebagian besar pembunuh berantai justru memiliki karakteristik 'penyimpangan kepribadian' hingga 'psikopatik', yang sama sekali berbeda dengan konsep orang gila.
Sementara itu, menurut penelitian dari Radford University, tidak semua pembunuh berantai memiliki level kognitif jenius. Sebagian besar pelaku pembunuhan berantai justru memiliki level IQ rata-rata, berkisar 94,5 hingga 271.
Riset Radford University justru berargumen bahwa pembunuh berantai yang melakukan aksinya secara sadis, bukan karena dilandasi oleh level kognitif, namun melainkan didasari oleh sikap obsesif yang menyimpang. Sehingga, miskonsepsi pembunuh berantai seperti yang digambarkan lewat karakter Hannibal, tak sepenuhnya benar.