Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap aturan ritel modern. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi ritel modern yang bernasib sama seperti 7-Eleven.
Enggartiasto mengatakan, selama ini bisnis ritel modern mampu menarik tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Maka jika ritel modern ditutup, akan ada banyak tenaga kerja yang akan menganggur.
"Yang menarik adalah berapa banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan, dan itu anak-anak muda," ujar dia di Jakarta, seperti ditulis Rabu (5/7/2017).
Dia menjelaskan, saat ini jumlah gerai ritel modern baik dalam bentuk kecil maupun besar mencapai 30 ribu gerai. Rata-rata tiap gerai tersebut memiliki tenaga kerja 7-8 orang.
"Coba sekarang kalau mart-mart itu kita hentikan, kira-kira 30 ribu kali rata-rata rasio 7-8 orang, maka 240 ribu orang kehilangan pekerjaan," kata dia.
Baca Juga
Advertisement
Oleh sebab itu, ke depannya, Enggartiasto berharap adanya persaingan yang sehat antara pelaku usaha bisnis perdagangan seperti ritel modern yang disertai juga dengan keberpihakan pemerintah terhadap bisnis warung kelontong.
"Jadi persaingan itu sehat, yang diuntungkan konsumen, jangan pernah kita main monopoli." tandas dia.
Untuk diketahui, Gerai 7-Eleven tutup di Indonesia per 30 Juni 2017. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menilai penutupan gerai 7-Eleven bukan masalah terjadi di industri ritel.
Lembaga pemeringkat ini menilai penutupan gerai 7-Eleven lantaran risiko peraturan yang berkembang dan profil risiko dari model bisnis yang diterapkan.
Fitch melihat, bisnis model yang diterapkan oleh 7-Eleven di Indonesia diganggu oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif. Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016 dibandingkan 2015 sekitar 20 gerai. Total gerai 7-Eleven sekitar 161 gerai pada 2016.
Penutupan gerai 7-Eleven menurut Fitch Ratings lantaran ada peraturan yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian pada April 2015, yang melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern dan kecil. Padahal, kontribusi minuman beralkohol itu diperkirakan sekitar 15 persen untuk penjualan induk usaha 7-Eleven, yaitu PT Modern Internasional Tbk.
Penutupan toko pun akhirnya menghasilkan penurunan penjualan dan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi sekitar 28 persen pada 2016.
Selain itu, Fitch menilai, masalah diperburuk dengan tidak ada perbedaan jelas antara toko ritel dan restoran cepat saji yang dilakukan 7-Eleven di Indonesia.
Model bisnis dan risiko gerai 7-Eleven serupa dengan restoran lantaran makanan dan minuman siap saji yang difasilitasi dengan tempat duduk dan Wi-Fi gratis. Akibatnya, rantai itu menghadapi persaingan ketat dari restoran cepat saji dan penjual makanan tradisional yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: