Liputan6.com, Juba - Milisi yang didukung pemerintah Sudan Selatan makin beringas dan brutal. Mereka mengunci penduduk pria dalam gubuk dan membakar para korban hingga tewas. Kelompok itu tak segan memenggal kepala orang yang mencoba kabur dari desa.
Kebrutalan milisi itu dilaporkan oleh kelompok Hak Asasi Manusia, Amnesty Internasional. Dikutip dari The Guardian pada Rabu (5/7/2017), menyebut kekejaman hanyalah salah satu penyebab utama krisis pengungsi di kawasan ini, dengan hampir satu juta orang melarikan diri ke Uganda.
Baca Juga
Advertisement
Dari populasi sekitar 12,5 juta, lebih dari 1,7 juta mengalami kelaparan berat, dan jumlah yang berisiko kelaparan adalah 6 juta dan terus bertambah.
Selain itu, wabah kolera yang menyebar cepat mengancam membunuh ribuan orang.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International, yang mengumpulkan laporan dari konflik Sudan Selatan, mengatakan bahwa pasukan -- mereka yang setia kepada pemerintah dan juga beberapa pihak terhadap oposisi -- juga telah mengurangi pasokan makanan ke wilayah negara tersebut.
Perempuan dan anak perempuan semakin banyak diculik dan diperkosa di wilayah Equatoria, sebuah garis depan baru dalam konflik, "yang sekarang merupakan wilayah 'ladang pembunuhan yang berbahaya'," menurut Amnesty.
"Eskalasi pertempuran di wilayah Equatoria telah menyebabkan meningkatnya kebrutalan terhadap warga sipil. Pria, wanita dan anak-anak telah ditembak, mereka tewas dengan dengan cara dilibas parang dan dibakar hidup-hidup di rumah mereka. Perempuan dan anak perempuan diperkosa dan diculik, "kata Donatella Rovera, penasihat senior untuk respons krisis Amnesty International.
Joanne Mariner, penasihat penanggap krisis lain untuk Amnesty, mengatakan: "Ini adalah tragedi yang mengerikan dari perang. 'Keranjang roti' di Sudan Selatan -- wilayah yang setahun yang lalu dapat memberi makan jutaan orang -- telah berubah menjadi ladang pembunuhan berbahaya yang telah memaksa sekitar satu juta orang untuk lari mencari selamat."
Setelah lebih dari setengah abad perjuangan, Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan dari Sudan pada tahun 2011. Perayaan yang menandai kelahiran negara terbaru di dunia itu emosional, namun dua tahun kemudian, perseteruan yang terjadi antara presiden Salva Kiir, dan Wakil presidennya, Riek Machar, memicu konflik baru.
Kiir berasal dari suku Dinka dan Machar berasal dari Nuer, dua kelompok etnis yang dominan di Sudan Selatan yang telah menjadi pesaing satu sama lain selama lebih dari satu abad.
Meskipun Machar --sekarang pemimpin oposisi -- telah melarikan diri dari negara tersebut setelah kesepakatan damai runtuh tahun lalu, tentara yang setia kepadanya terus-menerus melawan pemerintah.
Laporan Amnesty tersebut menggambarkan satu insiden di bulan Mei, di mana enam orang terbunuh setelah tentara memaksa mereka masuk ke sebuah gubuk di Desa Kudupi dekat perbatasan Uganda dan membakarnya. Mereka kemudian melepaskan tembakan ke gubuk itu.
Pasukan juga menembak empat orang saat mereka mencoba melarikan diri.
Enam orang lainnya tewas dalam serangan serupa di Desa Payawa dua hari kemudian, yang menurut salah satu janda mereka adalah "kelima kalinya desa diserang oleh tentara".
Pada kesempatan sebelumnya, sang janda korban mengatakan, para penyerang akan memerkosa, menyiksa dan menjarah, tapi tidak membunuh. Saksi mata menggambarkan bahwa tentara pemerintah melakukan pembunuhan semacam itu.
"Semua pihak dalam konflik harus mengendalikan militan mereka dan segera berhenti membidik warga sipil, yang dilindungi oleh undang-undang perang," kata Mariner dari Amnesty.
"Mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman harus dibawa ke pengadilan. Sementara itu, pasukan penjaga perdamaian PBB harus memenuhi mandat mereka untuk melindungi warga sipil dari serangan yang sedang berlangsung ini."
Para pemimpin Afrika Timur mengatakan bulan lalu mereka akan berusaha mendorong perundingan perdamaian Sudan Selatan untuk dihidupkan kembali dan meminta penundaan pemilu yang dijadwalkan tahun depan.
"Tidak ada cara untuk aman, ini adalah gambaran buruknya situasi," kata seorang korban pemerkosaan berusia 23 tahun, Mary, kepada kelompok hak asasi manusia tersebut.
"Satu-satunya cara agar wanita dan anak perempuan aman adalah ketika mereka meninggal dunia," tutupnya.
Saksikan video menarik berikut ini: