Liputan6.com, Yogyakarta - Wanita tua bernama Suparni itu tidur siang di samping rumahnya. Di ruangan tanpa pintu seluas 3X3 meter berdinding gedhek (bilik bambu) terlihat jelas tempat tidur dan meja dengan peralatan makan juga radio tuanya.
Meski berusia lanjut, tubuhnya masih bugar saat menjalani aktivitas sehari-hari. Padahal, warga Pedukuhan Sadang, Kelurahan Tanjungharjo, Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, itu berusia 117 tahun.
"Kulo Suparni umur 117 tahun. Wiwit jaman Londo lahire Kulo, tenan kulo mboten goroh (sejak zaman Belanda saya lahir. Beneran saya tidak bohong)," ujarnya di kediamannya, Rabu, 5 Juli 2017.
Suparni mengaku masih ingat saat orang-orang Belanda menjajah negeri itu. Saat itu, banyak orang Belanda yang tinggal di sekitar kampungnya.
Ia juga mengaku masih ingat lagu Belanda dan Jepang. Bait lagu Jepang yang masih diingatnya walaupun tidak penuh itu berjudul "Olah Rogo". Sementara, lagu Belanda yang dikenalnya tidak berbahasa Belanda, tapi berbahasa Jawa. Namun, ia tidak begitu ingat lirik lagu Belanda berbahasa Jawa itu.
"Nek londo Kulo nget nget riyin. Wektune niku mboten dicatat kok (sebentar saya ingat-ingat dulu. Waktu itu ga dicatat jadi agak lupa)," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Suparni memang tidak punya bukti administrasi jika ia telah berusia ratusan tahun. Sebab waktu itu, pihak kelurahan tidak mencatat kelahiran setiap anak. Namun mengandalkan kesadaran, ia menghitung usianya sendiri kini 117 tahun.
"Dulu sing nanggali kelurahan. Nek wong cilik nggih mboten ditulis (dulu yang nyatat pihak kelurahan. Tapi dulu tidak semua bayi lahir dicatat)," ujarnya.
Suparni merupakan anak pertama dari 9 bersaudara. Waktu itu jarak anak pertama dengan anak seterusnya berbeda empat tahun. Kini, warga Kulon Progo itu mengaku mempunyai dua anak, empat cucu dan enam buyut.
"Dulu kalo belum empat tahun, belum keluar adine," katanya dalam bahasa Jawa.
Suparni teringat saat masa penjajahan. Namun jika disuruh memilih, ia memilih Belanda daripada Jepang. Alasannya, saat Belanda menjajah, ia tidak perlu membayar biaya sekolah dan bahkan peralatan sekolah waktu itu diberikan oleh Belanda.
"Kalau Jepang saya ingat sekolah kelas tiga. Waktu itu ya disuruh ngajari olahraga itu. Dapat kain jarik, baju dan kain klobot," katanya.
Tukiyem (65), anaknya, mengaku ibunya memang tidak punya data atau KTP. Namun, dia masih ingat kejadian saat Belanda dan Jepang datang ke Indonesia.
"Lahir udah tahu ada Belanda, Jepang, ibu sudah tahu. Ibu yang tahu kejadiane," katanya.
Tukiyem mengatakan ibunya masih memiliki suami bernama Karto Prawiro yang sekarang tinggal di Metro Lampung. Suami ibunya itu diajak ke Lampung pada 1965 oleh adiknya. Sampai sekarang, sang ayah masih hidup dan sehat seperti ibunya.
Menurut Tukiyem, sang ibu tidak mau diajak pindah karena ingin membesarkan dua anaknya di Kulon Progo. "Ibu bilang kalau mau nikah lagi, ya nikah sana. Ibu mau nemenin anak-anaknya. Bapak sekarang punya lima anak di sana," katanya.
Tukiyem mengatakan usia bapaknya lebih muda 23 tahun dari usia ibunya. Ia pun sering berkunjung ke rumah ayahnya. Adiknya yang dari ibu yang lain di Lampung juga sering berkunjung ke rumahnya.
"Bapak masih sehat, adik-adiknya (Suparni) udah ada yang meninggal. Saudaranya sembilan, masih empat orang yang masih hidup," ujar Tukiyem.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: