Liputan6.com, Talinn - Amnesty International menyalahkan "kegagalan kebijakan Uni Eropa" atas melonjaknya jumlah korban di kalangan pengungsi dan migran di Mediterania tengah.
Dalam sebuah laporan Amnesty International mengatakan, kesepakatan Uni Eropa dengan Libya membuat ribuan orang berisiko tenggelam, mengalami kekerasan seksual, dan disiksa.
Advertisement
Mereka juga menyebut bahwa Uni Eropa menutup mata terhadap pelanggaran di pusat penahanan Libya dan sebagian besar menyerahkannya ke badan penyelamat laut untuk menyelamatkan para migran.
Pada 2017, lebih dari 2.000 orang meninggal dunia saat mencoba masuk ke Eropa. Sejauh ini, Uni Eropa tidak memberikan komentar atas laporan dari Amnesty International.
Dikutip dari BBC, Kamis (6/7/2017), laporan itu disampaikan saat menteri dalam negeri dari kelompok 28 anggota Uni Eropa itu bertemu di Tallinn, Estonia, untuk membahas krisis migran.
Mereka akan meninjau rencana tindakan senilai US$ 92 juta atau sekitar Rp 1,23 triliun yang diumumkan oleh Komisi Eropa untuk menangani masalah itu.
Komisi tersebut mengusulkan untuk menggunakan lebih dari 50 persen dana dalam meningkatkan kapasitas penjaga pantai Libya. Sisa dana itu digunakan untuk membantu Italia dalam menyediakan makanan, tempat tinggal, dan proses pengurusan migran setibanya di sana.
"Alih-alih bertindak untuk menyelamatkan nyawa dan menawarkan perlindungan, para menteri Eropa ... tanpa malu-malu memprioritaskan kesepakatan sembrono dengan Libya dalam upaya putus asa untuk mencegah pengungsi dan migran mencapai Italia," kata John Dalhuisen, direktur Eropa Amnesty.
"Negara-negara Eropa semakin berpaling dari strategi pencarian dan penyelamatan dalam mengurangi angka kematian di laut, di mana hal itu memperburuk tenggelamnya ribuan orang dan membuat orang-orang yang putus asa, perempuan, dan anak-anak yang terjebak di Libya mengalami penganiayaan mengerikan," katanya.
Laporan Amnesty mengatakan, langkah-langkah yang diterapkan Uni Eropa untuk memperkuat pencarian dan penyelamatan migran di Mediterania tengah pada 2015 secara dramatis telah menurunkan jumlah kematian di laut.
Namun, prioritas tersebut tidak berjalan lama. Dokumen itu menambahkan bahwa Uni Eropa kemudian mengalihkan fokusnya untuk mengganggu aktivitas penyelundup dan mencegah pemberangkatan kapal imigran dari Libya.
Menurut Amnesty International, praktik semacam itu dinilai justru meningkatnya penggunaan kapal yang tidak layak dan membuat laut semakin tidak aman.
Pencegatan oleh penjaga pantai Libya sering membuat nyawa pengungsi dan migran dalam risiko. Amnesty International mengatakan, ada tuduhan serius bahwa anggota penjaga pantai berkolusi dengan penyelundup dan menyalahgunakan migran.
"Jika paruh kedua tahun ini berlanjut di mana tindakan pertama dan mendesak tidak dilakukan, 2017 tampaknya akan menjadi tahun paling mematikan bagi rute migrasi paling mematikan di dunia," kata Dalhuisen.
"Uni Eropa harus memikirkan kembali kerja sama dengan penjaga pantai Libya yang dan mengerahkan lebih banyak kapal di tempat yang sangat dibutuhkan."
Dalhuisen menekankan bahwa pada akhirnya satu-satunya cara yang berkelanjutan dan manusiawi untuk mengurangi jumlah risiko dalam perjalanan mengerikan itu adalah dengan membuka rute yang lebih aman dan legal bagi para migran dan pengungsi untuk mencapai Eropa.