Liputan6.com, Jakarta - Mobil otonomos menjadi salah satu subsektor di bidang teknologi yang tengah mengalami perkembangan pesat. Mulai dari perusahaan Amerika Serikat seperti Google, hingga perusahaan Tiongkok semisal Baidu, berlomba-lomba mengembangkan mobil otonomos.
Setidaknya masih ada satu pertanyaan besar terkait hal ini. Bagaimana kecerdasan buatan di balik teknologi mobil otonomos, mengambil keputusan saat kondisi darurat yang menyangkut hidup dan mati?
Ya, siapa pun yang berkendara di jalan raya berpotensi mengalami kondisi ini. Misalnya saat mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kondisi darurat memaksa untuk mengambil dua pilihan: menabrak orang yang tiba-tiba menyeberang, atau membanting setir ke samping yang bisa menghantam pengguna jalan atau mobil lain.
Baca Juga
Advertisement
Ternyata, pertanyaan ini bisa terjawab dengan cara memelajari perilaku manusia melalui uji coba berbasis teknologi virtual reality. Sekelompok peneliti, sebagaimana dikutip dari Science Alert, Jumat (7/7/2017), berhasil menggambarkan mekanisme pengambilan keputusan kecerdasan buatan dalam bentuk algoritma.
Temuan ini sangat berarti karena sebelumnya penelitian semacam ini diprediksi tidak akan dapat dilakukan.
"Perilaku manusia dalam situasi darurat dan dilematis seperti ini dapat dibuat pemodelannya dengan mengacu pada nilai hidup sederhana yang dikaitkan dengan setiap objek manusia, hewan, atau benda mati," kata Leon Sütfeld, salah satu peneliti dari Universität Osnabrück, Jerman.
Tonton video menarik berikut ini:
Simulasi Virtual Reality
Berbekal virtual reality untuk membuat simulasi jalan berkabut di pinggiran kota, Sütfeld dan peneliti lainnya menempatkan sejumlah peserta uji coba di kursi pengemudi di sebuah mobil di jalan dua jalur. Berbagai "rintangan", seperti manusia, hewan, dan objek lainnya, muncul di jalan virtual. Dalam setiap skenario, para peserta dipaksa untuk memutuskan mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dilewati, apakah manusia, hewan, atau objek lainnya.
Selanjutnya, para peneliti menggunakan hasil ini untuk menguji tiga model berbeda yang memprediksi pengambilan keputusan. Model pertama memprediksi bahwa keputusan dapat dijelaskan oleh model nilai kehidupan sederhana, sebuah istilah yang mengukur manfaat dari mencegah kematian.
Model kedua mengasumsikan bahwa karakteristik masing-masing rintangan, semisal usia seseorang, berperan dalam proses pengambilan keputusan. Terakhir, model ketiga memerkirakan bahwa peserta cenderung tidak membuat pilihan etis saat harus merespons dengan cepat.
Setelah membandingkan hasil analisis, terungkap bahwa model pertama paling akurat dalam menggambarkan pilihan yang diambil para peserta. Ini berarti mobil otonomos dan mesin otomatis lainnya dapat membuat pilihan layaknya manusia dengan menggunakan algoritma relatif sederhana.
Namun perlu diingat temuan ini akan menjadi pemicu perdebatan baru, baik secara etika maupun moral, yang perlu dipertimbangkan sebelum mobil otonomos melaju di jalanan secara legal dan massal.
"Setelah kita tahu bagaimana cara menerapkan pola pengambilan keputusan manusia ke mesin, sebagai masyarakat kita masih menghadapi dilema ganda," kata Peter König, salah satu peneliti lainnya. "Pertama, kita harus memutuskan apakah nilai moral harus dimasukkan ke dalam pedoman untuk perilaku mesin, dan jika memang demikian, apakah mesin harus bekerja seperti manusia?" pungkas König.
(Why/Isk)
Advertisement