Sri Mulyani: RI Tambah Utang Buat Bangun Infrastruktur

Dalam laman Facebook maupun Instagram, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan langkah Kementerian Keuangan melakukan pengelolaan utang pemerintah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Jul 2017, 16:32 WIB
Menkeu Sri Mulyani menjadi pembicara dalam seminar Problem Defisit Anggaran dan Strategi Optimalisasi Penerimaan Negara 2017 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2). Seminar itu diselenggarakan Poksi XI Faksi Partai Golkar DPR RI. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menilai rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 30 persen. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang pemerintah di negara-negara anggota G20.

Posisi utang pemerintah mencapai Rp 3.672,43 triliun per akhir Mei 2017. Utang itu naik sekitar Rp 5 triliun dari posisi April 2017 sekitar Rp 3.667,41 triliun.

Sementara di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah mengajukan usulan tambahan pembiayaan utang pada kisaran Rp 42,3 triliun-Rp 76,6 triliun.

Seperti dikutip dari laman Facebook maupun Instagram resminya, Jakarta, Jumat (7/7/2017), Sri Mulyani mengungkapkan langkah Kementerian Keuangan melakukan pengelolaan utang pemerintah.

"Saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di bawah 30 persen dan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara G20 lainnya," tulis Sri Mulyani.

Lanjutnya, dengan defisit di kisaran 2,5 persen dari PDB, ekonomi Indonesia mampu bertumbuh di atas 5 persen. Artinya stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian, sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif.

"Dengan kata lain, Indonesia tetap mengelola utang secara prudent (hati-hati)," Sri Mulyani menegaskan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), diakui Sri Mulyani, tengah menggelontorkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Ini merupakan upaya pemerintah untuk mengejar ketertinggalan dalam pembangunan.

Lebih jauh Sri Mulyani menambahkan, pembangunan ini tertunda dan tidak maksimal karena dalam kurun waktu 20 tahun belakangan, pemerintah Indonesia fokus menangani krisis ekonomi 1998 dan 2008.

Selain itu, dengan tekanan pelemahan global 2014, pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif sebagai stimulus untuk mendorong ekonomi serta melindungi masyarakat.

Lambatnya pembangunan memberi beban pada rakyat dan ekonomi dalam bentuk kemacetan, biaya ekonomi tinggi, dan ekonomi daerah tertinggal.

"Peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi negeri. Ketimpangan antara si miskin dan si kaya membutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan belanja sosial, yang tujuannya untuk melindungi kelompok termiskin agar tidak makin tertinggal," ia menerangkan.

Pemerintah, sambungnya, juga mengupayakan agar defisit tidak melebar dan utang tidak meningkat secara tidak terkendali. "Oleh karena itu, penerimaan perpajakan terus digenjot dengan reformasi pajak agar belanja dan biaya pembangunan dapat dibiayai oleh pajak, bukan utang," tegas Sri Mulyani.

Foto dok. Liputan6.com

Penduduk Indonesia dengan demografi muda memerlukan investasi pendidikan dan kesehatan yang besar, untuk menyiapkan mereka menjadi manusia yang produktif kompetitif dan cerdas, serta sehat. APBN akan terus ditujukan untuk dapat mencukupi belanja pendidikan dan kesehatan yang cukup besar ini, agar sumber daya manusia Indonesia tidak tertinggal dari bangsa lain.

Sri Mulyani memastikan, Pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit anggaran sesuai aturan perundangan dan dilakukan secara hati-hati dan profesional, sehingga Indonesia dapat terus maju dan sejahtera, namun tetap terjaga resiko keuangan dan utang.

"Supaya bangsa ini akan sejajar dengan negara maju di dunia dan mempunyai martabat yang tinggi dengan tercapainya keadilan dan kemakmuran," tutup Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya