Liputan6.com, Minahasa - Suara azan berkumandang dari sebuah masjid kecil di siang itu. Sejumlah jamaah berdatangan memenuhi ruangan Masjid Imam Bonjol di Desa Lota, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Masjid ini berdiri di tengah-tengah permukiman warga desa yang mayoritas beragama Nasrani. Merujuk pada nama masjid itu, memang punya kaitan erat dengan keberadaan pahlawan nasional dari Sumatera Barat, Tuanku Imam Bonjol.
Tepat di depan masjid itu, terdapat komplek pemakaman Imam Bonjol yang wafat dalam pembuangannya oleh Belanda di Minahasa pada 6 November 1864.
Baca Juga
Advertisement
"Sebagian besar jamaah masjid ini merupakan keturunan pengikut Imam Bonjol. Mereka bahkan sudah kawin-mawin dengan penduduk setempat sejak ratusan tahun silam," kata David Suwatan, warga Desa Sea.
David mengatakan keturunan pengikut Imam Bonjol ini hidup berdampingan dengan damai meski mayoritas penduduk adalah pemeluk Nasrani.
Rumah-rumah di kompleks seputar masjid dan makam mayoritas dihuni oleh keturunan pengikut Imam Bonjol. Mereka ini juga yang sehari-hari menjaga dan merawat makam yang memang berada dalam kondisi cukup memprihatinkan.
Di sisi kanan makam Imam Bonjol, berjejer puluhan makam para pengikutnya. “Sudah ada keturunan ketujuh dari pengikut Imam Bonjol di sini. Kami memang sudah menetap di sini, menjaga dan merawat makam ini,” tutur Abdul Mutalib.
Abdul Mutalib adalah generasi kelima Apolos Minggu. Dari sejumlah cerita yang berkembang serta beberapa literatur, Apolos disebutkan seorang kopral yang setia terhadap Imam Bonjol. Dia sebenarnya berasal dari Maluku yang bertemu saat Imam Bonjol diasingkan ke Ambon, sebelum akhirnya dibuang dan wafat di Minahasa.
Apolos ketika itu menikahi gadis Minahasa bernama Mency Parengkuan. Dari situ kemudian lahirlah keturunan-keturunan berikutnya.
"Imam Bonjol dalam pengasingannya di Minahasa hingga wafat, tidak menikah. Sehingga keturunan yang ada sekarang merupakan anak cucu dari Apolos. Ibu saya Ainun Minggu yang sudah berumur 81 tahun adalah keturunan keempat dari Apolos Minggu," jelasnya.
Sepanjang bulan Ramadan lalu, komplek makam Imam Banjol banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah di tanah air. “Kebanyakan memang dari daerah Sumatera Barat,” ujar dia.
Meski bukan keturunan langsung Imam Bonjol, dan sudah ratusan tahun berada di tanah Minahasa, namun tradisi dan budaya Minangkabau masih melekat. Mulai dari arsitektur makam, hingga masjid, bahkan rumah-rumah warga juga terlihat khas Minangkabau.
"Kita ini sudah campuran etnis. Tapi memang tradisi Minang masih kuat. Termasuk di menu saat Ramadan dan menyambut Lebaran," ujar Aisyah, salah satu warga setempat.
Masakan khas Minang seperti rendang menjadi sajian utama, yang kemudian dipadu dengan ala Minahasa. "Sampai dengan menu makanan juga campur baur, Minang, Minahasa, Gorontalo, bahkan juga Jawa," tutur dia.
Warga keturunan pengikut Imam Bonjol berjumlah sekitar 200-an. Mereka terkonsentrasi di Desa Lota, pinggiran kota Manado. Sebagian dari mereka juga sudah pindah ke desa sekitar dan membentuk komunitas Muslim seperti di Desa Pineleng I. Bahkan ada juga merantau keluar daerah.
Saksikan video menarik di bawah ini: