Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah perlu mewaspadai gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor ritel. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut kurang lebih sekitar 3.000 orang ter-PHK, termasuk pegawai 7-Eleven sebagai imbas dari penurunan daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah mengenai toko ritel modern.
Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey mengungkapkan, industri ritel, termasuk toko ritel modern mencatatkan kinerja bisnis yang kurang menggembirakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Momen puasa dan Lebaran, sambungnya, tak mampu mendobrak penjualan bisnis ritel akibat pelemahan daya beli masyarakat.
"Dari data Minggu I dan II Juni ini, penjualan hypermarket, supermarket, dan minimarket tumbuh negatif, masing-masing 12,2 persen, 11,5 persen, dan 1,3 persen," terangnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (9/7/2017).
Roy memprediksi, penjualan industri ritel hanya bertumbuh 3 persen sampai 4 persen di Juni 2017. Di tahun ini, proyeksinya hanya sekitar 5 persen-6 persen atau anjlok dibanding periode tahun lalu sebesar 9,2 persen. Sedangkan realisasi pertumbuhan penjualan ritel pada 2015 sebesar 8,4 persen.
Baca Juga
Advertisement
Industri ritel yang dimaksud adalah gabungan dari format minimarket, supermarket, hypermarket, departement store/speciality store & wholeseller atau kulakan.
"Ini karena daya beli masyarakat yang turun dan kebijakan pemerintah, terutama toko ritel modern yang sulit ekspansi, seperti yang menimpa 7-Eleven. Padahal mereka bisa hidup dengan ekspansi," Roy menjelaskan.
Dengan melihat kondisi tersebut, Roy mengaku, banyak tenant di mal yang tutup akibat tidak mampu lagi membayar sewa tempat lantaran pendapatan tergerus.
"Di Plaza Senayan, ada sekitar 12 toko tutup bukan karena under renovation, tapi kabur tidak bisa bayar sewa. Sedangkan pendapatan tidak ada, karena orang ke mal sekarang cuma buat makan dan minum, belanja tidak harus," keluhnya.
Parahnya lagi, lebih jauh dikatakan Roy, pertumbuhan penjualan hypermarket terkontraksi lebih dalam lantaran berkurangnya konsumen yang membeli kebutuhan dalam jumlah banyak atau stok. Alasannya, karena minimarket ada di mana-mana sehingga orang memilih berbelanja sesuai kebutuhan.
"Kalau sudah begini, mau tidak mau pengurangan pegawai. Tapi PHK biasanya jalan terakhir. Kita efisiensi dulu, misal penggunaan energi, pembelian produk hanya yang dibutuhkan masyarakat saja. Kalau sudah efisiensi masih drop, baru PHK," Roy menegaskan.
Namun demikian, ia tidak merahasiakan apabila sudah terjadi PHK meskipun belum secara masif karena perusahaan masih sanggup membiayai operasional dari dana cadangan. Selain 7-Eleven dengan PHK sekitar 2.000 orang karyawan, Roy menyebut, ada sekitar 1.000 pegawai lagi yang sudah dirumahkan karena penurunan penjualan di hypermarket, supermarket, dan minimarket.
"Kalau 7-Eleven kan sudah jelas sekitar 2.000 orang yang di PHK. Nah hypermarket sudah melakukan PHK, karena kapasitas besar, pengunjung kurang, dan tidak ada lagi pembelian stok, jadi ada pengurangan karyawan. PHK di hypermarket, minimarket, dan supermarket kurang lebih 1.000 orang, berarti total 3.000 orang," kata Roy.
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
Stimulus
Butuh Stimulus
Oleh karenanya, Aprindo berharap, pemerintah dapat merevisi atau mengkaji kembali peraturan-peraturan yang menyangkut toko ritel modern, khususnya yang masih menggunakan model lama.
"Ritel kita masih terpuruk. Jadi pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat mengeluarkan stimulus yang dapat menggerakkan lagi daya beli masyarakat dan menghidupkan ritel modern yang underperformance dalam dua tahun terakhir," tegas Roy.
Pertama, lanjut Roy, mempertahankan harga-harga energi, antara lain bahan bakar minyak (BBM), listrik, gas yang sangat sensitif bagi masyarakat mampu, apalagi tidak mampu. Dia menuturkan, perlu ada pemikiran strategis dari regulator supaya harga-harga energi tidak naik. Kedua, berupaya menurunkan suku bunga pinjaman perbankan sehingga uang masyarakat dapat dialokasikan lagi untuk berbelanja.
"Ketiga, pahami pola prilaku konsumen. Mereka sangat sentimen dengan satu situasi atau aturan yang sudah dinyatakan lalu ditarik kembali atau tidak jadi diberlakukan," ujar dia.
Roy menilai, kondisi tersebut dapat menjadi sentimen negatif yang menahan masyarakat membelanjakan uangnya. "Hati-hati kalau menyampaikan peraturan, kalau belum matang jangan dikeluarkan dulu. Kalau ditarik lagi, bisa jadi sentimen negatif yang menggerus daya beli atau orang jadi menahan belanja," pintanya.
Ia pun mendesak pemerintah atau regulator merelaksasi aturan toko ritel modern yang sampai sekarang belum terealisasi. Harapannya, agar ekspansi toko modern menggunakan izin sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun zonasi.
"Perizinan toko modern diberikan satu relaksasi. Biar tidak lambat, ekspansi sesuai RTRW atau zonasi. Tapi kita masih menunggu revisi Perpres 112/2017 terkait ekspansi toko ritel modern yang sampai sekarang belum keluar," terang Roy.
Advertisement
Respons
Respons Pemerintah atas PHK
Menanggapi PHK yang terjadi pada 7-Eleven maupun ritel modern lainnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menilai menjamurnya toko ritel modern di Indonesia telah menciptakan persaingan yang cukup ketat. Jika kalah bersaing, tentunya harus mundur dari arena kompetisi.
"Bisa saja (PHK) karena Indomart, Alfamart itu perkembangannya bukan main. Jadi jangan melihat itu (PHK) sebagai gejala ekonomi keseluruhan, karena bisa saja gejala persaingan," Darmin menegaskan.
Pemerintah, sambungnya, harus melihat secara keseluruhan kondisi tersebut. "Itu tidak bisa dijawab begitu saja, harus dilihat betul ada berapa sih (yang kena PHK)," ucap Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku imbas pelemahan ekonomi selama tiga tahun terakhir (2014-2016) masih terasa hingga kini. Dampaknya menghantam daya beli masyarakat dan merembet ke industri ritel maupun industri lain.
Sri Mulyani menyatakan, realisasi inflasi 2016 sebesar 3,02 persen merupakan pencapaian paling rendah dalam satu dekade. Kondisi ini, menurut dia bermula dari kontraksi atau penurunan di sektor pertambangan, dan kemudian berpengaruh ke sektor lainnya.
"Itu terjadi puncaknya pada kuartal terakhir di 2016. Jadi saya menganggap ini masih menjadi imbas dari pelemahan ekonomi yang terjadi di 2014, 2015, dan 2016 karena faktor komoditas dan ekspor. Imbasnya masih terasa sampai sekarang," ucap Sri Mulyani.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak berpangkutangan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk mengerek daya beli masyarakat dan menggeliatkan kembali industri di Tanah Air, termasuk industri ritel.
Fokus pemerintah, kata Sri Mulyani menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dengan program-program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta keluarga, sehingga 25 persen, bahkan 40 persen masyarakat terbawah tetap terjaga.
"Untuk menaikkan daya beli adalah dengan confidence. Meningkatkan daya beli tentu dengan upah yang meningkat yang mencerminkan produktivitas. Ini tantangan pemerintah," ia menerangkan.
Selain itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menambahkan, pemerintah konsen meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia mengingat faktor ini yang paling dibutuhkan untuk mengerek produktivitas.
"Upaya lainnya, reformasi kebijakan yang akan terus dilakukan di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk memperbaiki investasi karena itu akan meningkatkan inovasi dan kreativitas," papar Sri Mulyani.