Jeritan Nelayan soal Cantrang dan Benih Lobster

Sejumlah kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti seperti larangan cantrang dan penangkapan benih lobster mengundang protes banyak nelayan.

oleh Hans BahananPebrianto Eko WicaksonoMuhamad Ridlo diperbarui 11 Jul 2017, 21:45 WIB
Perahu dan kapal nelayan dengan alat tangkap cantrang bersandar di Kompleks Perumahan Pesisir Sentolo Kawat, Cilacap, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, hari ini tak mengerahkan massa ke Jakarta, berdemonstrasi memprotes kebijakan-kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap memberatkan nelayan, seperti larangan penggunaan alat tangkap cantrang. Tapi, bukan berarti nelayan Cilacap setuju sepenuhnya dengan kebijakan-kebijakan menteri eksentrik itu.

Sekretaris HNSI Cilacap, Teuku Iskandar Muda mengatakan, keputusan untuk tak mengikuti demonstrasi itu untuk memenuhi maklumat HNSI pusat yang memerintahkan kepengurusan di bawahnya untuk mencegah dan melarang pengerahan massa untuk menjadi peserta aksi massa tersebut.

"Memang sudah instruksi DPP HNSI Jakarta untuk tidak mengerahkan massa atau anggota HNSI untuk mengikuti demonstrasi ke Jakarta. Jadi, keputusan nelayan Kabupaten Cilacap, kami pun tidak mengerahkan massa ke Jakarta," ucap Teuku di Cilacap, Selasa (11/7/2017).

Meski tak mengikuti demonstrasi di Ibu Kota, Teuku menyatakan, beberapa kebijakan Menteri Susi yang kini tengah diprotes itu memang terkesan saklek. Sebab kebijakan pelarangan itu kerap tak dibarengi dengan solusi. Bagi dia, hal itu aneh.

"Yang pertama sebenarnya seperti ini. Dari awal, kalau ada peraturan, sejak pertama kalau ada aturan kok seolah-olah saklek. Jadi, peraturan kok tidak ada solusi," ujar dia.

Teuku mencontohkan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) soal pelarangan penggunaan jaring tarik seperti cantrang, arad, payang, dan sejenisnya. Menurut dia, alangkah baik jika disertai dengan fasilitas penggantian jaring (replacement).

Dia pun mengusulkan agar cantrang atau jaring terlarang yang dipakai nelayan itu diganti dengan jaring legal oleh pemerintah. "Ya, begitu. Saya kira kalau jaring cantrang atau arad, atau payangnya diganti, nelayan bisa terima. Tapi, kan ini tidak. Hanya dilarang, tapi tidak ada solusinya," ia membeberkan.

Pernyataan Menteri Susi

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, tidak ingin menghabiskan energi untuk menghadapi persoalan cantrang. Susi mengatakan, pihaknya tidak akan menghabiskan energi untuk menghadapi nelayan yang berunjuk rasa menolak pemberlakuan kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang.

Ratusan nelayan melakukan aksi unjuk rasa menolak penggunaan alat tangkap cantrang di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Selasa (11/7/2017).

"Presiden sudah larang saya menghabiskan energi untuk cantrang. Sudah tidak perlu lagi," kata Susi, usai menghadiri rakornas satuan tugas pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal, di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa ini.

Susi menuturkan, ‎pemerintah sudah menetapkan pemberlakuan larangan beroperasinya kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang hingga akhir 2017. ‎Dalam kurun waktu tersisa, cukup untuk melakukan transisi beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan

"Ya sudah, kita nunggu sampai masa waktu habis berlaku," ujar Menteri Susi.


Larangan Ekspor Benih Lobster

Massa dari Aliansi Nelayan Indonesia membawa poster saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (11/7). Para nelayan meminta pemerintah melegalkan alat tangkap cantrang dan/atau payang di tingkat nasional. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kebijakan lainnya yang menurut dia tak tepat adalah larangan ekspor lobster di bawah 200 gram. Menurut dia, lobster di perairan Jawa sulit untuk mencapai ukuran 200 gram atau lebih. Lobster di atas 200 gram, imbuh dia, kebanyakan berada di perairan luar Jawa.

"Ini kan masalah tempat ya. Saya sendiri tidak tahu kenapa di Jawa kecil-kecil. Kalau di luar Jawa, mudah itu dapat yang 200 gram. Kalau di Jawa sulit," Sekretaris HNSI Cilacap, Teuku Iskandar Muda menuturkan.

Dia juga menilai, setiap kali ada kebijakan baru, seperti peraturan menteri, maka kementerian dan dinas di bawahnya mestinya melakukan sosialisasi secara masif pada tingkat nelayan.

"Pernah juga Ibu Menteri (Susi Pudjiastuti) bikin Permen-KP tidak ada sosialiasi. Yang jadi masalah di lapangan seperti itu," ujarnya.

Teuku bahkan mengaku pernah menjadi korban karena tak mengetahui ada peraturan menteri soal larangan ekspor lobster di bawah 200 gram. Dia merugi hingga puluhan juta rupiah lantaran tak bisa menjualnya.

Dia juga mengkritik program-program Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) di daerah yang dianggap jarang melibatkan HNSI. Namun, sebaliknya, jika ada permasalahan, KKP baru mencari dan meminta bantuan HNSI. Contohnya, dalam pembagian converter kit bahan bakar minyak (BBM) ke elpiji untuk nelayan kecil.

"Tapi, saat terjadi masalah antar kelompok nelayan terkait distribusi converter kit, KKP baru mengundang HNSI untuk menengahi kelompok yang bertikai," kata dia.

Teuku menambahkan, anggota HNSI di Cilacap mencapai 15 ribu orang yang terbagi menjadi 26 rukun nelayan dan perorangan. Terbanyak, sekitar 80 persen di antaranya adalah buruh nelayan dan nelayan perahu kecil.


Jeritan Nelayan Lombok

Perahu-perahu nelayan penangkap benih lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Liputan6.com/Hans Bahanan)

Sementara di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), larangan penangkapan benih lobster membuat sebagian besar nelayan menjerit. Sebab, larangan berdasarkan Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 itu dianggap menyengsarakan para nelayan lobster meski pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 50 miliar untuk mengalihkan profesi mereka sebagai nelayan budi daya.

Pantauan Liputan6.com di tiga perkampungan nelayan di Lombok Tengah, yakni Desa Awang, Gerupuk, dan Desa Kuta, para nelayan di sana mengaku sedih lantaran tak bisa lagi menangkap dan menjual benih lobster. Padahal, menangkap benih lobster tersebut telah menjadi mata pencaharian mereka sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.

"Apalagi yang bisa kita harap, lobster sudah tak boleh ditangkap lagi. Kalau ada yang nangkap nanti ditangkap polisi. Jadi, kami tak bisa ngapa-ngapain sekarang," ucap Beni, istri salah seorang nelayan di Desa Awang, saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin, 10 Juli 2017.

Beni mengaku, banyak para nelayan di Desa Awang yang mendadak miskin akibat peraturan yang ditetapkan Menteri Susi Pudjiastuti tersebut. Sebelumnya, mereka meraup keuntungan dari penjualan lobster mulai Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah setiap harinya.

Namun, sejak ditetapkannya Permen-KP tersebut, mereka tidak menerima penghasilan lagi. Mereka hanya bergantung kepada penangkapan ikan yang hasilnya dinilai tidak cukup untuk memenuhi biaya kehidupan mereka. Bahkan, banyak para nelayan yang menjual aset yang dimiliki seperti mobil dan rumah.

"Banyak yang mobilnya dijual, rumahnya disita pihak bank, dan juga ada yang jual rumah karena tidak tahu lagi nyari penghasilan dari mana," tutur Beni.

Selain itu, imbuh dia, hasil yang menggiurkan dari penangkapan benih lobster ini membuat banyak nelayan mampu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah ternama, bahkan hingga ke luar negeri.

Beni dan beberapa nelayan Desa Awang menganggap sikap pemerintah yang melarang penangkapan benih lobster dengan ditetapkannya Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tersebut selain merugikan juga menilai pemerintah tak senang jika nelayan ini sejahtera dan berpenghasilan tinggi.

"Mereka (pemerintah) kelihatannya tidak senang melihat rakyatnya sejahtera," kata Beni.

Adapun salah seorang nelayan lobster di Desa Wisata Gerupuk, Sukur (60) mengakui, ia saat ini sangat kewalahan untuk mencari penghasilan selain menangkap benih lobster. Kendati telah berubah menjadi penangkap ikan, hasil yang didapat sangat minim lantaran cuaca yang tidak mendukung.

"Kalau lobster tiap hari mau cuaca buruk pun kita pasti dapat, tapi kalau nangkap ikan seperti ini bagaimana kita bisa melaut? Kalaupun ada hasilnya palingan saya dapat Rp 50 ribu sehari, itupun kalau ada dan untuk biaya sekolah anak tidak cukup apalagi beli keperluan dapur," tutur dia.

"Lobster ini anugerah yang diberikan Allah bagi kami para nelayan di sini," Sukur menambahkan.

Hal senada dikemukakan Arsad. Pria berusia 50 tahun ini mengatakan, penetapan larangan penangkapan benih lobster tersebut dianggap membunuh para nelayan secara tidak langsung meskipun pemerintah mengganti dengan bantuan pembudidayaan ikan bawal, kerapu, udang vaname, dan rumput laut.

"Dulu pernah ada yang budi daya, tapi merugi karena cuaca. Sedangkan lobster ini tak ada pengaruhnya dengan cuaca. Kami benar-benar ditindas rasanya," kata Arsad.


Tolak Bantuan Rp 50 Miliar

Seorang nelayan penangkap benih lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Liputan6.com/Hans Bahanan)

Sebelumnya, para nelayan penangkap benih lobster dari sejumlah desa di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menolak bantuan pembudidayaan oleh Direktorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan total nilai Rp 50 miliar. Mereka tetap bertahan dengan pendiriannya sebagai petani lobster.

Bantuan yang akan diberikan pemerintah tersebut berupa pembudidayaan ikan bawal 655 paket (termasuk jaring dan pakan), ikan kerapu 580 paket (termasuk jaring, vitamin jilnet, dan pakan), rumput laut 728 paket, ikan bandeng 40 paket, udang vaname 20 paket, ikan lele 209 paket, ikan nila 14 paket, dan perahu pengangkutan rumput laut 71 paket.

"Kami menolak bantuan tersebut, karena bagi kami pembudidayaan ikan bawal, kerapu dan rumput laut yang diberikan itu tidak bisa mengangkat perekonomian kami para nelayan," ucap salah seorang nelayan, Abdul Kasim, Kamis, 6 Juli 2017.

Kasim menjelaskan, para nelayan justru berharap pemerintah mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Pemen-KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah NKRI. Sebab, tak ada penjelasan ilmiah dampak yang diakibatkan dengan menangkap benih lobster tersebut.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Hamdi menyatakan, penolakan perwakilan para nelayan penangkap benih lobster asal Lombok Timur dan Lombok Tengah terhadap bantuan budi daya oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah diaspirasikan ke pemerintah pusat.

Namun, menurut dia, keputusan pemberian bantuan senilai Rp 50 miliar yang disalurkan Ditjen Budi Daya agar para nelayan lobster ini beralih profesi menjadi nelayan budi daya sudah final dan tidak bisa dikompromikan lagi. Sebab, keinginan untuk mengubah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Pemen-KP) Nomor 1 Tahun 2015 dan revisinya, Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016, sudah dilakukan.

"Kita sudah berjuang mulai dari permintaan merevisi Permen Nomor 1 Tahun 2015, sehingga direvisi ke Permen Nomor 56 Tahun 2016. Termasuk mencari jalan keluar buat para nelayan agar mereka memiliki mata pencaharian baru," ucap Hamdi, Sabtu, 8 Juli 2017.

Dia menjelaskan, salah satu bentuk usaha pemerintah daerah untuk membantu para nelayan lobster usai dikeluarkannya Permen-KP tentang larangan menangkap lobster ini adalah permohonan bantuan pengalihan profesi.

Usaha tersebut, kata Hamdi, telah disetujui. Dengan demikian, pemerintah memberikan bantuan senilai Rp 50 miliar untuk pengadaan paket budi daya ikan bawal, kerapu, udang, dan rumput laut, yang dikhususkan kepada para nelayan lobster.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya