Sri Mulyani: Usul Defisit Lebih dari 3 Persen Jadi Beban Buat RI

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah masih nyaman dengan batasan defisit anggaran sebesar 3 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Jul 2017, 10:45 WIB
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah masih nyaman dengan batasan defisit anggaran sebesar 3 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah masih nyaman dengan batasan defisit anggaran sebesar 3 persen di Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Alasannya jika dinaikkan, justru akan menambah beban bagi Indonesia.

"Berdasarkan pengalaman kita mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak adanya UU Keuangan Negara selama ini, defisit 3 persen masih bisa mewadahi atau memenuhi kebutuhan kita untuk menjalankan berbagai program," tegasnya di Jakarta, Rabu (11/7/2017).

Berbagai program prioritas itu, diakui Sri Mulyani, untuk pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan, kesehatan, pelatihan sumber daya manusia, meningkatkan perlindungan masyarakat miskin, dan investasi lainnya. Seluruh kegiatan atau belanja itu tetap bisa diakomodir di APBN dengan batasan defisit saat ini.

"Adanya batasan defisit anggaran 3 persen memaksa pemerintah pusat, daerah, dan DPR maupun DPD untuk menjaga suatu disiplin fiskal. Kalau mau revisi kan harus ada proses, tapi tidak berarti ada wacana langsung terjadi," paparnya.

Lebih jauh Sri Mulyani menerangkan, kenaikan atau pelebaran defisit anggaran menjadi lebih dari 3 persen hanya akan melahirkan beban bagi negara ini, termasuk masyarakat. Sebab dilihat dari kinerja APBN dalam kurun waktu 2015-2016, masih ada belanja yang belum terserap.

"Kalau dinaikkan (defisit) secara cepat tapi tidak ada perencanaan yang matang dalam belanja, yang terjadi APBN-nya besar tapi penyerapannya tidak tinggi. Ini menyebabkan defisit membesar, namun tidak tereksekusi sehingga akan menimbulkan dua beban," ucapnya.

Sambung Sri Mulyani, beban itu pertama, jumlah dan biaya utang akan meningkat. Kedua, Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah tidak melakukan tugasnya untuk melakukan perencanaan anggaran atau belanja secara baik.

"Contohnya belanja di Kementerian Keuangan, pada 2015 ada Rp 2,5 triliun tidak tereksekusi. Artinya pemerintah secara umum harus menyediakan uang Rp 2,5 triliun, tapi uang tidak terserap, lalu jadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Namun untuk membiayai Rp 2,5 triliun itu kita harus menerbitkan utang," katanya.

"Itu yang menyebabkan biaya besar, namun tidak terserap sehingga menimbulkan beban tidak baik bagi ekonomi maupun sisi kredibilitas APBN," tambah Sri Mulyani.

Menurutnya, pemerintah lebih memilih berupaya maksimal untuk mengumpulkan pendapatan negara, termasuk dari penerimaan pajak lebih banyak ketimbang opsi melebarkan defisit menjadi lebih dari 3 persen.

"Kita akan terus perbaiki dengan reformasi perpajakan. Ini yang paling esensial supaya negara bisa belanja kebutuhan mendesak tanpa membahayakan fiskal. Kita juga tidak meninggalkan beban ke anak cucu kita," ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR, Andreas Edy Susetyo mengusulkan supaya melebarkan batasan defisit fiskal di APBN karena batas tolerasi 3 persen dari PDB saat ini terlalu rendah dan berisiko menghambat target pembangunan. Terlebih lagi selama ini, penerimaan pajak selalu berada di bawah target.

Konsekuensinya, pemerintah menekan belanja, seperti melakukan efisiensi, bahkan pemotongan anggaran. "Kenapa tidak melebarkan defisit anggaran menjadi maksimal 5 persen untuk lima tahun," usul Andreas.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya