Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tampaknya serius untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Kajian teknis ditargetkan selesai sebelum tahun ini, dan pemindahan ditargetkan paling cepat 2018. Rencana tersebut tentu berkaitan dengan pengembangan kota-kota baru sebagai pendukung ibu kota terutama kawasan perumahan, komersial dan fasilitas kota lainnya.
Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Tata Ruang, Kawasan dan Properti Ramah Lingkungan, Hari Ganie mengakui saat ini Kota Jakarta memikul banyak sekali beban dari mulai sebagai ibu kota negara, pusat administrasi pemerintahan, pusat bisnis dan investasi, pusat keuangan, jasa dan perdagangan. Beban kota yang menumpuk di satu lokasi membawa konsekuensi buruk.
Salah satunya kemacetan lalu lintas yang semakin hari semakin parah, tingkat urbanisasi yang tinggi, ancaman banjir, memburuknya sanitasi, kekumuhan dan banyak hal lain yang berujung pada berkurangnya rasa kenyamanan penduduknya.
Namun di sisi lain dia juga meyakini untuk memindahkan ibu kota negara juga bukan persoalan mudah. Tidak bisa dengan tiba-tiba dipindah, karena fungsi-fungsi Kota Jakarta tadi melekat dan sulit dipisahkan dalam seketika.
Baca Juga
Advertisement
“Tentu ini perlu kajian, evaluasi, dan perencanaan yang sangat matang, sehingga perpindahan ibu kota ini tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Termasuk sistem infrastruktur yang terintegrasi yang mendukung kegiatan pemerintahan di lokasi baru nantinya, ungkap Hari Ganie yang dihubungi Liputan6.com, Rabu (12/7/2017).
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, belum lama ini mengatakan bahwa kajian Bappenas mengenai pemindahan ibu kota sudah dibicarakan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kajian tersebut meliputi penentuan lokasi, estimasi dan skema pendanaan, serta tata kotanya. Menurut dia, Kalimantan dinilai menjadi pulau yang cocok sebagai ibu kota negara.
Tadi sudah dibahas dengan Bapak Presiden. Yang pasti di luar Jawa. Kemungkinan besar di Pulau Kalimantan, tapi spesifiknya di mana, itu yang akan difinalkan sebelum akhir 2017, ujar Bambang.
Sekiranya pemindahan ibu kota negara benar terjadi, ungkap Hari Ganie, REI tentu berharap bisa berperan banyak dalam mendukung penyediaan fasilitas kota terutama perumahan. Menurut dia, pemindahan ibu kota misalnya ke Pulau Kalimantan, itu sama halnya dengan membuka dan mengembangkan satu kota baru.
“Ini polanya sama dengan pengembangan kota baru (township). Di situ perlu pengembangan infrastruktur dasar, fasilitas penunjang kota, bahkan perumahan. Nah, anggota REI yang jumlahnya lebih dari 3.000 perusahaan di 34 provinsi kompetensinya kan di situ. Kami punya sumber daya yang komplit dalam pengembangan satu kota baru," tegas alumnus Jurusan Planologi ITB Bandung tersebut.
Selain itu, tambah Hari Ganie, proyek yang dikerjakan pengembang anggota REI di seluruh Indonesia itu bersifat multiproduk. REI merupakan asosiasi terbesar yang membangun rumah murah di Indonesia. Tahun ini saja REI berencana membangun 210 ribu unit rumah rakyat. Di sisi lain banyak perusahaan properti anggota REI juga memiliki pengalaman dan reputasi yang baik dalam membangun township. Dia bahkan memastikan sebagian besar dari pengembang kota baru di Indonesia adalah anggota REI.
Kalau betul nanti pemindahan ibu kota ini menjadi keputusan politik pemerintah, dia melihat hal itu sebagai peluang bagi pengembang anggota REI terlebih yang sudah punya track record dalam pengembangan kota baru.
Jadi kalau ditanya bagaimana REI melihat rencana pemindahan ibu kota, maka kami tentu tidak dalam posisi dukung atau tidak dukung. Tapi kami mendukung setiap rencana pemerintah sesuai kompetensi REI dalam bidang pengembangan kawasan properti. Kami siap diminta masukan dan dilibatkan terkait kajian tersebut, ujar Hari Ganie.
Libatkan Swasta
Namun untuk menarik minat pengembang swasta dalam pengembangan ibu kota baru tersebut, tentunya dibutuhkan regulasi yang jelas termasuk insentif khususnya bagi pengembang yang membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, pemerintah pusat harus membuat dulu konsensus antar pihak-pihak yang akan terlibat seperti pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR dan swasta.
Terutama konsensus mengenai rencana tata ruangnya. Kemudian soal sumber dan skema pembiayaannya. Kalau semua jelas, swasta pasti akan siap masuk, kata dia.
Hal lain yang perlu diantisipasi adalah penyediaan tanah. Menurut Hari Ganie, di Indonesia harga tanah dengan cepat bisa digerek tinggi. Karena di sini tidak ada sistem yang bisa mengontrol harga tanah. Intervensi spekulan cukup besar, bahkan untuk membebaskan lahan pengembang harus lewat pihak ketiga. Tanah menjadi barang mahal, sehingga pemerintah perlu menyiapkan lahan yang memadai di sekitar ibu kota baru sebagai bank tanah (land bank) untuk penyediaan fasilitas kota baru.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: