Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi dalam rangka mengamankan penerimaan negara. Ditengarai hingga kini, oknum-oknum impor di pelabuhan maupun bandara sebagai pintu arus keluar masuk barang masih banyak berkeliaran.
Pembentukan satgas mendapat komitmen kuat dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kepala Kepolisian Tito Karnavian, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Badaruddin, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.
Sri Mulyani mengungkapkan, impor berisiko tinggi memiliki peluang penyelewengan yang lebih besar, sehingga bisa mengakibatkan beredarnya barang-barang ilegal. Dengan penertiban impor berisiko tinggi, volume peredaran barang ilegal dapat menurun dan akhirnya mendorong perekonomian dalam negeri, serta mengoptimalkan penerimaan negara.
Baca Juga
Advertisement
"Volume impor berisiko tinggi hanya 4,7 persen dari total jumlah volume impor di Indonesia. Tapi impor itu merusak tatanan ekonomi, merusak industri dalam negeri, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat karena meski jumlahnya kecil, namun penetrasi ke dalam sistem cukup dalam dan rumit," tegas Sri Mulyani di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Sri Mulyani mengatakan, total setoran bea masuk ke negara sebesar Rp 33 triliun. Target penerimaan negara di tahun ini sebesar Rp 1.750 triliun dan target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.498 triliun.
"Jadi penerimaan kecil tapi menimbulkan suatu persepsi sistem di Indonesia yang compromize. Pelaku ekonomi kita mencari oknum yang bisa digarap di Kementerian Keuangan dan Kejagung, Polri, dan lainnya," terangnya.
Selama ini, Sri Mulyani mengaku, kesulitan menertibkan impor berisiko tinggi. Jenis barang yang masuk dalam impor berisiko tinggi, seperti tektil, elektronik, dan minuman beralkohol.
Alasannya, karena ada oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai, Kepolisian, Kejaksaan Agung, TNI yang saling membeking satu sama lain sehingga penertiban impor barang berisiko tinggi kurang maksimal.
"Beberapa oknum Bea Cukai digunakan atau berkolusi bersama dengan Very High Risk Importer itu. Kalau minta Dirjen Bea Cukai menertibkan bilangnya tidak bisa tertibkan karena oknum itu mengatakan, mereka juga harus menghidupi lembaga lain," ujarnya.
"Penetapan jalur merah, kuning, hijau (arus barang) selalu dijadikan alasan untuk menciptakan biaya ekonomi tinggi. Untuk bisa masuk jalur hijau bisa ditetapkan oknum. Karena siapa yang bisa masuk ke pelabuhan dan berapa tarifnya saja beda-beda di masing-masing pelabuhan, jadi sebenarnya banyak lubang untuk dimanfaatkan," tegasnya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani meminta dukungan dan kerja sama dari Kemenko Bidang Perekonomian, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Panglima TNI, Kementerian Perdagangan, Kantor Staf Presiden, dan PPATK untuk menertibkan impor berisiko tinggi, termasuk para oknum.
"Kami tidak mampu membersihkan sendiri kalau kami tidak didukung Kementerian/Lembaga lain, utamanya TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung. Satgas dibentuk supaya memberi sinyal untuk aparat saya di dalam dan konsisten saya supaya jajaran saya bersih dan tidak ada lagi alasan tidak melakukan penertiban," kata Sri Mulyani.
Penertiban impor berisiko tinggi diakuinya, akan fokus pada pelabuhan-pelabuhan besar yang selama ini menjadi denyut ekonomi Indonesia, seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Perak, Pelabuhan Belawan, dan seluruh pelabuhan di perairan Timur. Inilah titik-titik penting karena volume arus keluar masuk barang sangat tinggi di wilayah tersebut.
"Saya hanya ingin tegaskan kami sudah bekerja. Saya ingin memberi sinyal ke anak buah masing-masing, jangan ada alasan tidak bisa penertiban, misalnya alasan Polri membekingi penyelundup atau tidak bisa ditertibkan karena nanti juga dilepaskan lagi oleh Jaksa," ujarnya.
Tonton video menarik berikut ini: