Liputan6.com, Washington, DC - Sejumlah pemilik akun Twitter mengajukan gugatan hukum kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mereka menuduh bahwa sang presiden telah melanggar hak kebebasan bersuara dan berpendapat, seperti yang diatur dalam Amendemen Pertama Konstitusi AS.
Aksi hukum itu dilakukan karena Donald Trump memblokir para pemilik akun Twitter yang mengajukan gugatan, setelah sejumlah kritik pedas terhadap sang presiden terlontar dari platform media sosial mereka. Demikian seperti diwartakan oleh Independent, Kamis, (13/7/2017).
Baca Juga
Advertisement
Karena itu, para pemilik akun Twitter tersebut mengklaim bahwa orang nomor satu Negeri Paman Sam itu telah melanggar hak kebebasan bersuara berdasarkan Konstitusi AS.
"Akun Twitter Presiden Trump, @realDonaldTrump, telah menjadi sumber berita dan informasi mengenai pemerintahan serta menjadi forum pendapat seputar pemerintahan sang presiden. Dan sang tergugat (Trump) telah memblokir para pengguna Twitter itu karena mengkritik dirinya atau kebijakannya," tulis Knight First Amendment Institute di Columbia University, New York, yang mewakili tujuh pemilik akun Twitter penggugat Presiden Trump.
"Dan tindakan (pemblokiran) itu tidak selaras dengan konstitusi, maka tuntutan ini ditujukan untuk mengakhiri hal tersebut," tambah gugatan tertulis itu.
Penggugat juga menyeret Sekretaris Pers Gedung Putih Sean Spicer dan direktur Sosial Media Gedung Putih Daniel Scavino dalam gugatannya. Mereka menganggap bahwa kedua juru komunikasi Trump itu memiliki wewenang untuk mengelola akun @realDonaldTrump.
Pada 6 Juni lalu, ke-7 pemilik akun Twitter tersebut sempat, mengirim surat kepada Presiden Trump agar pemblokiran itu dihentikan. Mereka menganggap bahwa @realDonaldTrump beroperasi layaknya domain forum informasi publik, sehingga pengelola akun tidak berhak membatasi sejumlah individu untuk mengakses maupun mengutarakan pendapat terkait hal itu.
"Twitter dapat membuat warga biasa untuk berbicara langsung kepada pejabat publik. Pejabat juga dapat mendengar langsung aspirasi dan diskursus yang terjadi di masyarakat atas sejumlah isu publik. Konsep platform media sosial itu serupa dengan gagasan forum dewan kota, forum masyarakat, atau town hall meeting," jelas gugatan tertulis dari Night First Amendment Institute di Columbia University.
Karena itu, ketujuh pemilik akun Twitter tersebut menganggap bahwa pemblokiran yang datang pasca-kritik yang terlontar, merupakan pelanggaran hak bersuara dan mengemukakan pendapat, seperti yang diatur dalam Amendemen Pertama Konstitusi AS.
Namun, sang presiden maupun Gedung Putih tidak mengindahkan permohonan tersebut. Akibatnya, muncullah gugatan hukum yang diwakili oleh Knight First Amendment Institute di Columbia University. Hingga kini, Washington, DC belum merespons terkait gugatan hukum tersebut.
Pengajuan tuntutan hukum itu terjadi di tengah tensi tegang antara Donald Trump dengan sejumlah media yang berbasis di Amerika Serikat. Presiden ke-45 AS itu sempat melabeli CNN, NBC, ABC, CBS, The Washington Post, dan The New York Times sebagai media pemasok berita palsu (fake news).
"Maaf saja, namun jika saya mengandalkan fake news dari CNN, NBC, ABC, CBS, Washpost, atau nytimes, saya mungkin tidak akan memenangi Gedung Putih," kata Presiden Trump melalui Twitter-nya pada Juni lalu.
Cuitan itu menimbulkan insiden pemblokiran serupa dengan ketujuh penggugat. Bahkan, insiden itu ditulis dan dijadikan contoh kasus dalam gugatan tertulis Knight First Amendment Institute di Columbia University.
Insiden Juni lalu itu, ditandai dengan salah seorang netizen Twitter yang mengomentari kicauan Trump tentang "fake news dan media AS".
Netizen itu menanggapi kicauan Trump dengan menulis, "Jujur, kamu tidak memenangkan sendiri Gedung Putih, Rusia yang memenangkannya untukmu," tulis Rebecca Buckwalter melalui akun Twitter-nya, @rpbp.
Kicauan @rpbp menerima 9.033 like dan 3.371 retweet. Tak lama, akun Buckwalter diblokir oleh @realDonaldTrump.
Saksikan juga video berikut ini