Pemerintah dan DPR Sepakati 7 Prinsip Dasar RUU Perlindungan TKI

Menaker M. Hanif Dhakiri memberikan penjelasan sikap pemerintah mengenai prinsip pokok amandemen UU No.39 Tahun 2004.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 13 Jul 2017, 20:23 WIB
Menaker M. Hanif Dhakiri memberikan penjelasan sikap pemerintah mengenai prinsip pokok amandemen UU No.39 Tahun 2004.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) bersama Komisi IX DPR RI kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPLN) di gedung DPR Jakarta, Selasa (12/7/2017).

Bersama Ketua BNP2TKI Nusron Wahid, Menaker M. Hanif Dhakiri memberikan penjelasan sikap pemerintah mengenai prinsip pokok amandemen UU No.39 Tahun 2004 tentang PPILN.

Menaker Hanif mengungkapkan pemerintah dan Panja Komisi IX DPR telah berhasil mencapai kesepakatan dalam pembahasan (7) tujuh isu krusial dalam pembahasan RUU PPILN.

“Secara prinsip saya sampaikan, pemerintah sangat berkepentingan dalam penyelesaian revisi UU No 39 Tahun 2004, karena ini menjadi dasar pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran kita,” ungkap Hanif di Senayan Jakarta pada Rabu (12/7).

Raker ini dipimpin oleh Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf (F-PD) yang didampingi oleh Syamsul Bachri (F-PG), Ermalena (F-PPP) dan Saleh Partaonan Daulay (F-PAN).

Dikatakan Hanif, isu pertama yang menjadi hasil kesepakatan adalah mengenai atase ketenagakerjaan yang dibentuk di semua negara penempatan; bagian dari perwakilan RI; tugas pendataan, verifikasi, market intelegent, berkordinasi dengan negara penempatan; dalam melaksanakan tugas atase ketenagakerjaan dapat dibantu oleh perwakilan RI dan badan; memiliki kewenangan Diplomat dan menguasai bidang ketenagakerjaan.

Kedua, Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia (JSPMI) diselenggarakan oleh BPJS. Isu ketiga yaitu soal pembiayaan dengan prinsip zero cost komponen biaya tidak boleh dibebankan pada pekerja migran Indonesia. Isu keempat yakni menyangkut fungsi pelaksanaan pusat pelayanan terpadu/layanan terpadu satu atap. "Memberikan pelayanan sebelum dan setelah bekerja," ujarnya.

Kelima, lanjut Menaker Hanif, menyangkut tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat bertanggungjawab menyediakan menyediakan/memfasilitasi pelatihan calon pekerja migran Indonesia melalui pendidikan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan. Sementara tanggungjawab pemerintah daerah adalah menginformasikan job order kepada pencari kerja, pelaksana pusat pelayanan terpadu bidang pekerja migran, bersama pemerintah pusat melakukan pendidikan dan pelatihan kerja.

"Pemerintah daerah juga menyediakan/memfasilitasi pelatihan calon pekerja migran Indonesia melalui pendidikan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan, " kata Menaker Hanif.

Sedangkan isu keenam adalah mengenai Badan/Kelembagaan. Pelaksanaan tugas Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan oleh Badan yang dibentuk oleh Presiden; Badan dipimpin oleh Kepala Badan yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden berkoordinasi dengan Menteri; Badan merupakan LPNK yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu dan terintegrasi; Keanggotaan Badan terdiri dari wakil-wakil Kementerian/Lembaga terkait.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja badan diatur dalam Peraturan Presiden," ujar Menaker Hanif membacakan hasil kesepakatan.

Menaker Hanif menambahkan, isu ketujuh pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia. "Pelaksananya adalah pemerintah pusat, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia dan perusahaan yang menempatkan pekerja migran Indonesia untuk kepentingan perusahaan sendiri dan Pekerja Migran Indonesia Perseorangan," katanya.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Komisi IX DPR RI melanjutkan pembahasan kesepakatan RUU PPILN dalam Rapat Panja RUU PPILN pada hari yang sama.

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya