Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung menguat meski tipis pada perdagangan saham selama sepekan. Ini didukung dari saham-saham masuk indeks saham LQ45 atau indeks berisi saham-saham terlikuid di bursa.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (15/1/2017), IHSG naik 0,29 persen dari level 5.814 pada 7 Juli 2017 menjadi 5.831 pada 14 Juli 2017.
Penguatan IHSG didorong saham-saham masuk LQ45 dan saham kecil serta menengah. Namun, aksi jual investor asing masih berlanjut. Tercatat aksi jual investor asing mencapai US$ 225 juta.
Baca Juga
Advertisement
Di pasar surat utang atau obligasi naik 0,63 persen secara mingguan usai pernyataan agresif dari pejabat bank sentral Amerika Serikat dan Eropa. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 24 basis poin secara mingguan menjadi 6,9 persen. Aksi jual pun terjadi di pasar obligasi mencapai US$ 791 juta.
Lalu, apa saja yang menjadi perhatian pasar, sehingga berdampak ke pasar saham baik global dan internal? Pertama, pernyataan pimpinan bank sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve Janet Yellen mendongkrak harga saham. Pimpinan bank sentral AS Janet Yellen menekankan terhadap pemulihan ekonomi AS semakin meningkat.
Selain itu, bank sentral AS juga mengingatkan rencana untuk mulai mengurangi memegang obligasi. Namun ia juga memperhatikan inflasi yang melemah. Ini dapat membuat bank sentral AS memperlambat untuk menaikkan suku bunga.
Pernyataan Janet Yellen tersebut mendorong kenaikan harga saham dan menekan imbal hasil obligasi. Ini seiring investor menangkap sinyal kenaikan suku bunga akan bertahap dan melambat.
Selain itu, Donald Trump Jr, anak presiden AS Donald Trump juga merilis email hubungan antara dirinya dengan pihak yang mempertemukan pengacara Rusia untuk melihat hal negatif Hillary Clinton. Investigasi terhadap Donald Trump Jr pun akan dilakukan segera. Sementara itu ini membuktikan potensi kolusi dengan Rusia tidak berdampak langsung ke pasar saham AS.
Sedangkan dari dalam negeri, realisasi anggaran semester I 2017 menjadi perhatian pelaku pasar. Pemerintah melaporkan kalau defisit anggaran capai 1,29 persen pada semester I 2017 atau lebih rendah dari semester I 2016 sebesar 1,82 persen.
Pendapatan negara mencapai 41 persen hingga semester I 2017 dari target 2017. Selain itu, penerimaan pajak pajak mencapai 38 persen dari target penerimaan pajak. Sedangkan belanja negara mencapai 42 persen dari target 2017.
Kemudian rilis data kinerja keuangan emiten semester I 2017 mulai menjadi perhatian. Salah satu kinerja emiten yang keluar yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang sesuai target.
Dari AS, pasar juga mengantisipasi pertumbuhan kinerja perusahaan terutama masuk indeks S&P 500 pada kuartal II 2017. Hal itu didukung dari data ekonomi solid, pulihnya kinerja keuangan perusahaan di sektor energi, selain itu sektor keuangan dan teknologi. Namun penguatan dolar Amerika Serikat dan ketidakpastian kebijakan pemerintahan Donald Trump berdampak negatif ke pasar.
Kemudian apa yang perlu dicermati ke depan?
Defisit anggaran melebar menjadi perhatian pasar. Pemerintah merevisi anggaran sehingga berdampak terhadap defisit anggaran menjadi 2,9 persen. Investor khawatir jika hal itu berdampak negatif untuk prediksi Indonesia ke depan. Ini mempengaruhi pasar saham ditambah kondisi bursa saham global yang bervariasi.
Lalu mengapa defisit anggaran tersebut melebar? Pertama, pemerintah telah mengajukan target penerimaan pajak lebih realistis Rp 1.450 triliun atau tumbuh 13 persen. Angka ini lebih rendah dari target kenaikan pajak sebelumnya yang tumbuh 17 persen.
Selain itu, defisit anggaran sebesar 2,9 persen juga mengasumsikan belanja pemerintah terealisasi 100 persen. Dibandingkan realisasi pengeluaran yang biasanya 96 persen-97 persen. Defisit anggaran akan mencapai 2,6 persen-2,7 persen seperti 2017.
"Namun perlu diingat kalau defisit melebar karena kenaikan belanja produktif. Ini berlawanan dengan pertumbuhan pendapatan," tulis laporan Ashmore.
Selanjutnya bagaimana dengan pengeluaran pemerintah? Pengeluaran dinaikkan menjadi Rp 2.111 triliun. Ada tambahan pengeluaran untuk belanja prioritas kemungkinan infrastruktur.
Oleh karena itu diharapkan peningkatan belanja pemerintah pada semester II 2017. Ada perbedaan belanja pemerintah ketika pada 2016 dan 2017. Pada semester II 2016, belanja pemerintah turun. Akibatnya, pemerintah mengendalikan defisit fiskal dengan mengurangi pengeluaran pada semester II 2016.
Ini berbanding terbalik dengan 2017. Penerimaan pajak tumbuh mencapai 19 persen hingga Mei 2017 sedangkan belanja hanya mencapai 5 persen pada periode sama.
Adapun dengan asumsi anggaran yang direvisi tercapai, pendapatan bakal naik 6 persen sedangkan belanja tumbuh 15 persen. Akibatnya ini menyebabkan sejumlah sektor yakni konstruksi dan ritel menjadi katalis pertumbuhan belanja pada semester II 2017.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: