Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas). Kemunculan Perppu tersebut menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, penerbitan Perppu tersebut sangat penting dalam mengatur kehidupan NKRI. Untuk itu, perlu ada penegasan terhadap ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Advertisement
"Prinsip Polri pada posisi mendukung, karena perlu ada ketegasan terhadap ormas yang anti-Pancasila," ujar Tito di Monas, Jakarta, Minggu (16/7/2017).
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Menko Polhukam Wiranto menegaskan, langkah ini diambil demi menyelamatkan bangsa Indonesia.
"Perppu Ormas yang baru bukan untuk kepentingan pemerintah semata, tapi kepentingan bangsa Indonesia. Perppu itu untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai ancaman, termasuk ancaman ideologis," tutur Wiranto di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Kamis 13 Juli 2017.
Menanggapi adanya perppu tersebut, Yusril Ihza Mehendra selaku kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan akan menggugat Perppu itu ke Mahkamah Konstitusi pada Senin 17 Juli 2017.
Gugatan dilayangkan agar Mahkamah Konstitusi (MK ) membatalkan beberapa pasal dalam Perppu tersebut. Ada beberapa pasal yang dianggapnya mengkhawatirkan dalam kehidupan bernegara.
"Terutama yang sangat mengkhawatirkan kami adalah Pasal 59 ayat 4, bahwa dikatakan Ormas dilarang yang menganut menyebarkan faham bertentangan Pancasila," ujar Yusril.
Dia menilai pasal tersebut hanya dijelaskan secara singkat terkait makna bertentangan dengan Pancasila. "Bertentangan dengan Pancasila yang seperti apa? Ada dijelaskan sedikit antara lain atheisme, fasisme, komunisme dan seterusnya. Itu kan hanya contoh saja," imbuh Yusril.
Tidak hanya itu, ada juga pasal yang dianggap bertentangan dengan KUHP. Yusril memberi contoh adanya hukuman yang berbeda pada ormas yang melanggar SARA.
"Ada ketidakjelasan dan ketumpangtindihan pasal-pasal ini. Ormas yang melakukan penodaan terhadap agama, ras dan lain-lain itu juga di Pasal 126 dari KUHP, tapi sanksi hukumnya berbeda. Jadi mana yang mau dipakai? Ini tidak menjamin suatu kepastian hukum," ujar Yusril.
Saksikan video menarik di bawah ini: