Liputan6.com, Jakarta - Santri tanpa pesantren tampaknya makin banyak saja di sekitar kita. Dan ini selaras dengan penetrasi internet serta smartphone di Tanah Air yang hingga Mei lalu diperkirakan berjumlah 140 juta.
Angka yang melewati 50% dari total penduduk Indonesia ini tentu saja numerik yang signifikan. Jika banyak yang mengakses semata keperluan negatif, maka bayangkan betapa mudahnya konten negatif menyeruak di ruang privat.
Namun, setidaknya lebih banyak manfaat yang terlihat. Terutama dengan makin banyak para santri tanpa pesantren, mereka yang belajar agama melalui perantara internet dan media sosial. Dan, salah satu komunikator dakwah dalam ceruk tersebut adalah Ustaz Abdul Somad (UAS) dari Pekanbaru, Riau.
Baca Juga
Advertisement
Dalam video yang diunggahnya dalam channel YouTube bernama Tafaqquh Online dan Fodamara, terlihat video ustaz Abdul telah ditonton hingga 16,255 juta dari total 1.410 video yang mencakup dirinya.
Ustaz lulusan S1 Al-Azhar, Mesir serta S2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko tersebut, tak memiliki rahasia tersendiri dalam dakwah dan syi'ar-nya yang nyata terus menyedot perhatian masyarakat.
"Bahkan, saya kuliah di Mesir dulu tak pernah ceramah. Waktu di Maroko, sesekali saja mengisi ceramah dan khutbah Jum'at di KBRI. Begitu pulang ke Indonesia tahun 2008, di Pekanbaru, kita berguru (cara dakwah) kepada Ustaz Dr. Mustafa Umar, LC, MA, dan Ustaz Mawardi M. Saleh," kata UAS melalui sambungan telepon pada Jumat (14/7/2017).
Kesempatan isi tausyiah rutin kepadanya terjadi di Masjid Raya An-Nur Pekanbaru, ketika Dr. Mustafa Umar memiliki jadwal isi ceramah di Pekanbaru dua pekan dan dua pekan berikutnya di Malaysia.
Ustaz Somad, sapaan lain dirinya, diwariskan kebiasaan Ustaz Dr. Mustafa Umar yang selalu mendokumentasikan ceramah tafsir Qur'an-nya di masjid tersebut sejak awal. Seniornya tersebut berpikiran ke depan, karena ingin membuat tafsir Qur'an, tapi berbentuk video.
Mau tak mau ketika UAS menggantikan jadwal, rekaman pun terjadi jauh sebelum memuncaknya media sosial di kalangan masyarakat Indonesia.
"Jadi video ini tidak khusus bagi generasi milenial. Namun ini bukti validnya ayat Qur'an bahwa dakwah harus billisani qoumihi, menggunakan bahasa kaummu. Bahasa kaum di Indonesia sekarang mungkin video. Dan ini sangat produktif karena betapa banyak santri tanpa pesantren, atau orang yang dulu malas ke masjid, tergugah dengan video dakwah saya," lanjutnya.
Baginya, semua gaya berbicaranya sangat natural. Tak dibuat-dibuat, tak pula menyamakan dengan seseorang, atau merujuk sejumlah video ustaz lainnya. Namun, gaya orasi itu diakuinya ada gen dari kakeknya, Datuk Zakaria. Di kampung masjid, hingga akhir hayatnya, sang kakek konsisten menjadi khatib Jumat disela tugas keseharian sebagai petugas pencatat pernikahan.
Gayanya tersebut membuat UAS dibanjiri banyak tawaran dakwah. Meski begitu, dia tetap menjalankan tugasnya sebagai dosen di UIN Sultan Syarif Kasim, Riau.
"Sampai saat ini, sekalipun tiap akhir pekan saya diundang dakwah ke luar kota, tapi Senin sampai Kamis saya tak pernah datang terlambat mengajar. 12 SKS tetap saya jalankan, tak pernah pimpinan saya menegur karena saya tak jalankan kewajiban," tambahnya.
Manajemen waktu demikian baik harus dilakukan UAS dan tim karena jadwal undangan isi ceramah dari seluruh Indonesia sudah penuh hingga 1 Syawal 1439 H atau periode Juli 2018 mendatang. Ini tentu juga soal waktu bagi keluarga kecilnya.
(ul)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6