Melawan Terorisme di Telegram

Aplikasi Telegram dinilai banyak memuat konten radikal, yang jika dibiarkan dapat menyuburkan terorisme di Tanah Air.

oleh Devira PrastiwiMoch Harun SyahTaufiqurrohman diperbarui 17 Jul 2017, 00:02 WIB
Ilustrasi Telegram (Sumber: Iran Human Rights)

Liputan6.com, Jakarta - Terorisme belakangan ini semakin mengancam berbagai negara, termasuk Indonesia. Konten-konten radikal yang berseliweran di dunia maya dinilai menyumbang suburnya terorisme. Pemerintah Indonesia pun gencar mengawasi dunia maya dengan mendirikan Lembaga Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Teranyar, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Jumat 14 Juli lalu meminta Internet Service Provider (ISP) memblokir 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram.

Aplikasi buatan Rusia ini dinilai banyak memuat konten radikal, yang jika dibiarkan dapat menyuburkan terorisme di Tanah Air.

"Kami tentunya beserta dengan institusi lain memantau perkembangan konten di dunia maya khususnya yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme, dengan BNPT, kalau yang narkoba dengan BNN," ujar Rudiantara dalam acara Silaturahmi Dewan Pers dengan Masyarakat Pers di Aryaduta Hotel Jakarta, Jumat 14 Juli 2017.

"Kami tentunya beserta dengan institusi lain memantau perkembangan konten di dunia maya, khususnya yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme, dengan BNPT, kalau yang narkoba dengan BNN," ujar Rudi dalam acara Silaturahmi Dewan Pers dengan Masyarakat Pers di Aryaduta Hotel Jakarta, Jumat 14 Juli 2017.

Telegram dinilai mengakomodasi konten bermuatan radikalisme seperti membuat bom. Pemerintah khawatir konten seperti ini akan mempengaruhi masyarakat.

"Nah, kami kenali memang saat ini di Telegram banyak kontennya itu yang berkaitan dengan radikalisme, antara lain seperti bagaimana membuat bom, bagaimana melakukan penyerangan, yang tentunya ini bisa mempengaruhi masyarakat di Indonesia sehingga ada 11 DNS yang hari ini di-block dari Telegram," Rudi menjelaskan.

Pemblokiran Kemkominfo pada Telegram ini baru pada versi website atau laman saja. "Dan ini yang web base-nya, jadi tidak bisa diakses dari komputer, tapi dari aplikasi, dari ponsel masih bisa Telegram," ucap Rudi.

Kemkominfo selalu berupaya berkomunikasi dengan berbagai platform yang ada di Indonesia, seperti Facebook dan Google. Komunikasi lebih mudah karena ada perwakilan di Tanah Air.

"Kami senantiasa berupaya berkomunikasi sama dengan platform lainnya, Facebook, Google, karena Youtube di bawah Google, Whatsapp juga di bawahnya Facebook. Line yang ada di Indonesia, Twitter juga ada di Indonesia, Facebook ada di Singapura, Google ada di Indonesia, bisa dihubungi semua," Rudi memaparkan.

Namun, komunikasi Kemkominfo dengan Telegram sedikit berbeda karena tidak ada perwakilan di Indonesia. Bahkan, Kemkominfo berusaha menghubungi melalui laman, namun tidak ada respons.

"Kalau dengan Telegram komunikasinya berbeda, mereka itu harus lewat web. Jadi kami sudah mengupayakan berkomunikasi dengan mereka (Telegram), menyampaikan bahwa ini harus di takedown dan lain sebagainya tapi tidak ada respons apa boleh buat, ini untuk kepentingan kita bersama (jadi diblokir)," jelas Rudi.

Pihak Telegram baru memberikan respons setelah Kemkominfo memblokir lamannya. "Nah ini bagus, artinya mereka juga sebetulnya ada keinginan. Dengan itu kami mengomunikasikan secepatnya karena kita butuh perbaikan, kita butuh service level," Rudi melanjutkan.

Pemblokiran yang mengundang kekecewaan sebagian warganet ini belum tahu sampai kapan. Namun, Telegram masih dapat digunakan di aplikasi handphone, karena pemblokiran hanya pada laman Telegram.

"Jadi kepada masyarakat masih bisa menggunakan Telegram dari ponsel tapi yang webnya tidak bisa. (Pemblokiran) aplikasi bertahap karena kan caranya berbeda untuk melakukan pemblokirannya," ujar Rudi.


Ribuan Halaman Terorisme

Ilustrasi (Liputan6.com)

Alasan lain Kemkominfo menutup akses situs web Telegram, karena memuat 17 ribu halaman yang diduga mengandung terorisme.

Tak cuma itu, konten meresahkan lain seperti radikalisme, cara membuat bom, dan masih banyak lagi ditengarai dapat membahayakan Tanah Air.

"Semuanya harus diblokir karena kan kita antiradikalisme," ujar pria yang akrab disapa Chief RA ini.

Kemkominfo sudah menyampaikan kepada Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masuki agar menindaklanjuti pemblokiran Telegram.

"Sudah berkomunikasi dengan Gatot, Pak Kapolri, mas Teten, rencananya mau diblokir saja," kata Rudiantara.

Kemkominfo juga sedang menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia, apabila Telegram tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten-konten yang melanggar hukum dalam aplikasi mereka.

"Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Dirjen Aplikasi Informatika Semuel A Pangerapan pada kesempatan yang sama.

Aplikasi Telegram dinilai dapat membahayakan keamanan negara, karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme. Dalam setiap pemblokiran, Kemkominfo selalu berkoordinasi dengan lembaga negara dan aparat penegak hukum lainnya.

"Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 40 UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kemkominfo selalu berkoordinasi dengan lembaga negara dan aparat penegak hukum lain dalam menangani pemblokiran konten yang melanggar peraturan perundangan-undangan Indonesia," Samuel memaparkan.

Profesor dari Universitas Haifa sekaligus penulis soal aksi teroris online, Gabriel Weimann, menyebut alasan teroris seperti ISIS lebih memilih Telegram sebagai sarana propaganda dan komunikasi kelompok teroris, lantaran Facebook dan Twitter rajin melakukan pembersihan.

Beberapa tahun terakhir, Twitter dan Facebook memang banyak menutup akun yang disinyalir berafiliasi dengan kelompok teroris. Sejak 2015, sejumlah analis menyebut ada eksodus besar-besaran kelompok teroris yang menggunakan Telegram.

"Kami melihat tren yang jelas ada pertumbuhan penggunaan Telegram oleh hampir seluruh kelompok teroris di seluruh dunia," ujar Gabriel seperti dikutip dari The Huffington Post, Sabtu 15 Juli 2017.

Tak hanya sekadar pengganti layanan, Telegram juga menawarkan fitur yang lebih mumpuni. Sehingga para teroris lebih memilih aplikasi ini sebagai media propaganda.

Founder dan CEO Telegram, Pavel Durov, akhirnya buka suara terkait pemblokiran platform ciptaannya di Indonesia. Ia heran dan mempertanyakan hal ini karena sebelumnya tak pernah menerima keluhan dari pemerintah Indonesia.

"Ini aneh, kami belum pernah menerima permintaan/komplain dari pemerintah Indonesia. Kami akan segera menyelidiki dan membuat pernyataan," kicau Durov melalui akun Twitter-nya @durov, Jumat 14 Juli lalu.

Durov merespons pemblokiran ini setelah warganet Indonesia me-mention Durov dengan berkicau, "Papa @durov apakah kamu mendengar bahwa Telegram akan diblokir di Indonesia? Saya sangat sedih jika itu terjadi," tulis pemilik akun @auliafaizahr.

Pada kesempatan lain, Durov kembali buka suara. Dia mengaku ada miskomunikasi dengan Kemkominfo. Kali ini, ia tak berkicau di Twitter, melainkan melontarkan pernyataan di kanal Telegram miliknya yakni Durov's Channel.

Durov mengaku sedih mendengar Rudiantara memblokir Telegram di Indonesia. Namun, ia juga menyebut sebenarnya pemerintah RI sudah menghubungi Telegram untuk melaporkan konten terorisme.

"Ternyata, baru-baru ini pejabat Kementerian mengirimi kami daftar saluran publik di Telegram dengan konten terkait terorisme dan tim kami tak segera memprosesnya dengan cepat," kata Durov.


Banyak Pilihan

Ilustrasi Telegram. (Doc: Newsweek)

Ketua Umum Patai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengkritisi langkah pemblokiran aplikasi Telegram. Dia menilai, seharusnya yang disasar pemerintah konten yang salah di aplikasi tersebut, bukan menutup medianya.

"Kalau ada hal-hal yang salah, (seharusnya) yang salahnya yang diproses, jangan rumahnya yang ditutup, gitu," kata Zulkifli saat ditemui di acara halal bihalal di DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Minggu 16 Juli 2017.

Ketua MPR ini memandang, Telegram merupakan bagian dari perkembangan zaman yang sudah maju. Selain itu, Indonesia merupakan negara demokrasi.

"Ya saya sayangkan saja kebijakan-kebijakan pembantu Presiden kalau terus menerus begitu, kan lama-lama merongrong popularitas Bapak Presiden," ujar dia.

Bahkan, Zulkifli mengatakan, penutupan aplikasi Telegram sebagai langkah yang tidak tepat. "Jadi cara-cara otoriter dalam era demokrasi tidak tepat karena akan merugikan. Bapak Presiden saya kira hati-hati," kata dia.

Layaknya Facebook dan Instagram, menurut Zulkifli, aplikasi Telegram pun dinilai punya banyak pengguna di Indonesia. Jika itu ditutup, penggunanya akan marah.

"Semua banyak penggunanya, kalau semua dibredelkan marah, marah sama siapa, pembantu Presiden. Akhirnya begitu," Zulkifli menandaskan.

Dukungan justru datang dari iCIO Community. Komunitas petinggi informasi teknologi (IT) perusahaan-perusahaan seluruh Indonesia itu menilai, masih banyak aplikasi chat yang mampu mendukung performa mereka.

"Ya kalaupun memang begitu keputusannya, tidak masalah. Di dunia ini kan masih banyak description, masih banyak pilihan lain," kata Irvan Yasni, Chief Technology Officer Sinar Mas Land, saat ditemui di iCIO halalbihalal di BSD City, Jumat 14 Juli 2017.

Menurut Irvan, bila aplikasi Telegram memang dimatikan, masih banyak teknologi lain yang menunjang komunikasi, sehingga hal ini tidak perlu dijadikan sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan.

"Teknologi lebih banyak, tinggal dipilih saja," ujar Irvan.

Pendapat serupa juga diungkapkan Ketua iCIO Community Agus Wicaksono. Menurutnya, tidak akan ada pengaruh, bila pemerintah memblokir aplikasi Telegram di Indonesia.

"Enggak sih, sebagian besar dari kita tidak ada pengaruh. Kan masih ada aplikasi lain," ujar dia.


Keamanan Negara

Logo Aplikasi Telegram

Presiden Jokowi mengatakan, keputusan pemerintah memblokir akses aplikasi percakapan Telegram bukan keputusan yang emosional. Jokowi memastikan keputusan memblokir Telegram melalui serangkaian pengamatan dan pembahasan yang panjang.

"Pemerintah kan sudah mengamati lama itu, mengamati lama," ujar Jokowi usai meresmikan Akademi Bela Negara Nasdem di kawasan Pancoran, Jakarta, Minggu 16 Juli 2017.

Langkah ini harus diambil pemerintah karena aplikasi perpesanan tersebut selama ini kerap digunakan jaringan teroris, untuk menyebar propaganda radikal ke masyarakat. Bahkan, Kepolisian telah memastikan sejumlah pelaku teror bom di Tanah Air dilakukan di Telegram.

"Kita kan ini mementingkan keamanan, ya keamanan negara, ya keamanan masyarakat, sebab itu keputusan (memblokir Telegram) dilakukan," kata Presiden.

Jokowi juga menegaskan, pemerintah concern dengan ancaman-ancaman yang dinilai dapat atau malah sudah terbukti mampu mengganggu keamanan nasional.

Dan saat ini, sambung dia, pemerintah juga tengah mengawasi aplikasi lain yang cenderung atau berpotensi mengganggu keamanan negara.

"Kalau memang tidak hanya satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ribuan yang ada di situ (telegram) yang dikategorikan akan menganggu keamanan negara. Ini menganggu keamanan masyarakat dan kita lihat aplikasi-aplikasi yang lain yang bisa digunakan (mengganggu keamanan)," beber mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan, selama ini aplikasi Telegram menjadi sarana komunikasi jaringan teroris.

"Cukup masif. Ini jadi problem dan jadi tempat saluran komunikasi paling favorit oleh kelompok teroris," ujar Tito Karnavian usai menghadiri acara Bhayangkara Run 2017 di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Minggu 16 Juli 2017.

Beberapa hal yang membuat Telegram menjadi alat komunikasi para teroris, kata Tito, karena fasilitas yang memungkinkan bagi jaringan kelompok radikal melakukan propaganda dan menyebar ajaran radikalisme.

"Karena selama ini fitur telegram banyak keunggulan. Di antaranya mampu membuat sampai 10 ribu member (dalam grup) dan dienkripsi. Artinya sulit dideteksi," ucap dia.

Mantan Kapolda Papua itu pun mencontohkan bagaimana sejumlah serangan teroris terjadi berdasarkan komunikasi yang dilakukan via Telegram.

"Mulai dari bom Thamrin sampai bom Kampung Melayu. Terakhir di Falatehan (penyerangan Brimob), lalu di Bandung. Ternyata komunikasi yang mereka gunakan semuanya menggunakan Telegram," tegas Tito.

Atas dasar itu, Tito pun meminta agar pemerintah menutup Telegram dan meminta agar penggunaan aplikasi yang didirikan oleh warga Rusia, Pavel Durov, itu dievaluasi. "Dari polisi meminta kepada Menkominfo bagaimana atasi ini. Sekarang salah satunya adalah ditutup," Tito menadaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya