Liputan6.com, Vilnius - Ruang bawah tanah di Gereja Kudus Dominika di jantung Kota Vilnius, Lithuania ternyata memiliki sebuah sejarah panjang
Di masa lalu, di ruang bawah tanah di bawah altar tersimpan beberapa peti mati. Kayu-kayunya pernah dicuri oleh tentara Napoleon untuk dijadikan api.
Advertisement
Sejarah keberadaan ruang bawah tanah berlanjut. Ketika Perang Dunia II, tentara Nazi menggunakannya sebagai tempat perlindungan darurat dari serangan bom. Lalu kemudian, Soviet mengubahnya ruang bawah tanah gereja itu sebagai museum ateisme.
Dikutip dari The Guardian, pada Senin (17/7/2017), kini sejumlah arkeolong yang dipimpin Dario Piambino-Mascali mencoba menguak rahasia ruang bawah tanah itu. Ia bersama timnya membuka sejumlah peti mati dan terkejut bahwa jasad di dalamnya masih dalam kondisi yang cukup baik.
Ada 23 peti berisi jasad pria, wanita dan anak-anak yang meninggal pada Abad ke-17, 18 dan 19. Mereka telah terawetkan dengan baik menjadi [mumi](Dominican Church of the Holy Spirit "") karena udara sejuk dan ventilasi yang baik.
Daging masih menutupi tulang mereka. Pun dengan baju yang masih menempel di kulit mereka. Organ tubuh juga masih berada di balik paru-paru.
Sang antropolog yang berasal dari Italia menemukan tiga pelajaran yang bisa diambil dari penyakit yang menewaskan orang-orang ini.
Sampel DNA yang diambil dari paha dan kaki mumi anak-anak yang diperkirakan meninggal tahun 1643-1665, di usia dua dan empat, adalah salah satu temuan yang paling penting. Mereka meninggal dunia karena cacar air.
Dari temuan itu, para ilmuwan bisa memprediksi bagaimana virus cacar air bisa berevolusi dan bermutasi di masa depan.
"Awalnya kami tak menemukan petunjuk bahwa anak ini menderita cacar air, karena penyakitnya tidak meninggalkan tanda apa pun," kata Piombino-Mascali.
"Nilai berharga dari temuan itu, para ilmuan kini mempertanyakan kapan pertama kalinya virus pembunuh --yang menyebabkan 500 juta tewas di seluruh dunia -- itu muncul," lanjutnya
Menurut Piombino-Mascali, virus itu pertama kali muncul di masa Firaun dan secara bertahap bermutasi.
Namun, para peneliti genetik membangun pohon keluarga 49 strain modern virus yang ada pada mumi bocah itu lalu menelusuri evolusi mereka. Seluruh virus yang dimiliki ternyata memiliki nenek moyang yang sama dari tahun 1530 dan 1654.
Pertanyaan berikutnya pun muncul; dari mana cacar air ada di Abad ke-16? Bisa jadi dari hewan ke manusia. Mungkin strain yang tidak aktif masih bisa ditemukan pada hewan, dan membuat lompatan mematikan itu terjadi lagi.
"Perlu diketahui bagaimana penyakit itu berkembang dan berevolusi seiring berjalannya waktu," kata Piombino-Mascali.
Selain cacar, mereka menemukan tuberkolosis atau TB.
"Biasanya ditemukan di tulang, tapi kami bisa temukan di paru-paru mumi itu. Temuan TB ini membuat debat berkelanjutan tentang sejarah TB," ujar Piambino-Mascali.
Tim Piambino-Mascali juga tengah bekerja untuk mengidentifikasi bakteria dan virus lainnya di tubuh mumi-mumi itu.
Dalam meneliti mumi itu, tim arkeolog yang dipimpin Piambino-Mascali bekerja dengan sebaik-baiknya, demi menjaga kelestariannya.
"Ada di antara para mumi seperti tengah tertidur saja," kata peneliti asal Italia itu.
Piambino-Mascali juga menyadari betapa rapuhnya tubuh mereka yang jika jatuh bisa hancur jadi debu.
Pada tahun 1960an, ahli forensik Rusia, Juozas Albinas Markulis, menelusi laporan bahwa ada 500 jasad dalam ruang bawah tanah itu. Sebanyak 200 di antaranya telah jadi mumi.
Saat itu, pihak berwenang khawatir akan adanya potensi epidemik dan memerintahkan untuk menyimpan mumi itu dalam kurungan kaca dan membakarnya di kamar gas.
Tak jelas bagaimana 23 mumi itu bisa selamat. Pun tak mengerti bagaimana mereka bisa diletakkan di ruang bawah tanah gereja itu.
Meski demikian, mumi itu tetap berada di ruang bawah gereja. Menurut Piombino-Mascali, akses untuk masuk ke gereja sulit apalagi dia dianggap telah mendapatkan sampel.
"Saya hanya tidak menghendaki cerita mumi itu hilang begitu saja...," tutupnya.