Jejak Samar Bos-Bos Gula Belanda di Tanah Banyumas

Orang-orang Belanda menguasai ribuan hektare tanah di tanah Banyumas untuk operasional pabrik gula mereka. Kini, jejaknya nyaris hilang.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 18 Jul 2017, 07:02 WIB
Bekas rumah administratur pabrik gula milik Belanda di zaman kolonial. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas – Ilalang dan semak mengepung nisan kuno di kerkhof (makam) Belanda di Klampok, Banjarnegara. Kesan tak terawat terlihat begitu kaki menjejak komplek pekuburan masa kolonial itu. Nama-nama yang dikubur di tanah memudar dimakan lumut dan usia.

Meski begitu, ingatan tentang tuan dan nyonya asal Belanda itu masih disimpan baik-baik oleh warga sekitar berdasarkan cerita turun-temurun. Selain itu, di sekitar komplek makam itu masih ada sisa kejayaan ketika VOC membangun imperiumnya di Tanah Jawa, yakni bekas rel kereta uap yang mengular mulai dari Lembah Serayu hingga Wonosobo.

Pegiat Banjoemas History Heritage Community (BHHC), Gregory Hadiwono, mengatakan tak banyak yang bisa terbaca di lokasi pemakaman itu. Namun dari komplek kerkhof itu, ingatan masyarakat terawat.

"Dulu, di sekitar sini banyak bekas rel perusahaan kereta uap Lembah Serayu atau Serajoedal Stoomtram Maaatschappij (SDS). Tapi, sudah banyak yang tertimbun bangunan dan pelebaran jalan. Yang masih tersisa bisa dilihat jembatan lori yang berdiri megah," katanya, Kamis, 13 Juli 2017.

Gregory lantas menunjuk peta. Lalu, rombongan Jelajah Banjoemas "Mrapat" yang diinisiasi komunitas pegiat sejarah Banyumas BHHC itu pun meninggalkan kerkhof. Mereka kemudian menuju ke Pabrik Gula (Suikerfabriek) Klampok.

Di tempat itu, sisa-sisa pabrik itu sudah hampir tak nampak. Namun bagi penggiat sejarah, meski bangunan sudah berganti bentuk dan bertambal sulam dengan bangunan baru, deru mesin uap seolah masih bisa dirasakan.

Melihat bekas pabrik gula itu, bayangan kebun tebu ratusan hektare pun tergambar. Cericit suara burung gereja laksana prenjak semak dan burung kepodang yang tengah berburu belalang, jangkrik, dan ulat.

Penggiat BHHC, Nugroho Pandu Sukmono, menjelaskan dalam berbagai literatur di masa lalu, pabrik yang dibangun pada 1889 itu dipimpin oleh administratur bernama Jacobus Fransiscus de Ruyter de Wildt. Wilayah perkebunan tebunya terbentang mulai dari Kecamatan Purwonegoro, Mandiraja, Klampok, Susukan, Somagede, hingga beberapa wilayah selatan Kabupaten Banyumas.

Jaringan rel lori juga dibangun di wilayah Kecamatan Rakit (Banjarnegara), Kecamatan Bukateja, Kemangkon dan Tidu di wilayah Purbalingga untuk memperlancar pengiriman tebu ke pabrik.

"Bekas-bekasnya masih ada di sepanjang jalan. Tapi sudah banyak yang hilang atau tertimbun tanah dan bangunan," ujar Nugroho.


Jembatan Baja

Jembatan Klawing, jejak peninggalan kolonial membangun kerajaan bisnis perkebunan tebu atau ‘Suikerfabriek’ di Purbalingga dan Banjarnegara. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Setelah itu, sekitar 20-an sepeda motor bergegas meninggalkan Pabrik Gula Klampok, menyeberang ke Purbalingga. Penelusuran dilakukan dipandu bekas-bekas rel yang masih tersisa. Kadangkala, pegiat BHHC itu bahkan harus menembus jalan setapak dan saluran irigasi di tengah sawah.

Di Desa Sumilir, Kecamatan Kemangkon Purbalingga, tampak bekas rel lori kembali menjulur. Rombongan berhenti di sebuah jembatan baja yang relnya tertimbun dengan semen. Di bagian bawah rel masih tertera angka "SCJ 95 SDS" yang menandakan rel tersebut dibikin pada 1895.

Oleh orang lokal, jembatan ini dinamai Jembatan Klawing. Jembatan itu menghubungkan wilayah Kecamatan Kemangkon dan Kalimanah di atas Sungai Klawing. Pada masa lalu, jembatan ini amat vital lantaran mengangkut tebu menuju Suikerfabriek Kalimanah, Purbalingga.

"Jembatan ini sekarang dimanfaatkan untuk lalu lintas masyarakat. Sayangnya banyak tangan-tangan jahil yang mencoret-coret jembatan lori tersebut," kata seorang pegiat sejarah, Subarkah Budi.

Pabrik gula itu sendiri sudah tak berbekas. Dari informasi yang diperoleh para penggiat, konon pabrik ini telah dibeli oleh empat pihak swasta. Senasib dengan pabrik gula Bojong Purbalingga yang kini berubah menjadi perumahan.

Sementara, bangunan utama pabrik berubah menjadi Panti Jompo Budi Dharma Kasih. Pemiliknya, Lie Hok Tjan, menyumbangkan tanah bekas pabrik itu untuk kegiatan sosial. Pihak keluarga bersepakat mendirikan yayasan tersebut pada 20 Desember 1988.

Nugroho Pandu menambahkan, dari keterangan Ketua Panti Budi Dharma Kasih, sisa bangunan rumah dinas administratur berubah menjadi bangunan SMA Santo Agustinus, sedangkan bangunan utama pabriknya sudah dirobohkan.

Sementara di bagian barat, sudah berubah menjadi penggilingan padi PT Pertani. Sedangkan bangunan lainnya, yang tepat di perbatasan Kota Purbalingga, dibiarkan mangkrak tak terurus.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya