Liputan6.com, Yogyakarta - Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Hifdzil Alim, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menahan Ketua DPR Setyo Novanto. Desakan tersebut dilakukan usai Setya Novanto menjadi tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.
Salah satu alasannya, ia mengatakan, Setyo Novanto memiliki sumber daya untuk melarikan diri. "Jadi tidak salah kalau dilakukan penahanan, tetapi semua tergantung subjektif penyidik KPK," ujar dia, Senin 17 Juli 2017.
Advertisement
Merujuk pada KUHAP, Hifdzil menjelaskan, penahanan merupakan wewenang penyidik selama memenuhi salah satu dari tiga alasan. Yakni, ditakutkan menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mengulangi perbuatannya lagi.
Setyo Novanto, kata Hifdzil, sulit ditahan apabila menggunakan alasan menghilangkan barang bukti karena barang bukti sudah ada di tangan KPK. Demikian pula dengan mengulangi kasusnya lagi.
Ia menilai penetapan Setyo Novanto sebagai tersangka korupsi kasus E-KTP sudah lama diprediksi. Sebab, berkas surat dakwaan KPK atas dua tersangka dari unsur Kemendagri menyatakan ada dugaan keterlibatan Ketua DPR itu.
"Jadi, mudah saja dibaca dan saya pikir KPK akan lama tetapkan dia, ternyata sebaliknya. Ini bagus untuk membongkar dugaan kasus korupsi E-KTP," tutur Hifdzil.
Ia mengatakan, KPK juga harus membongkar terduga lain yang disebut dalam dugaan kasus korupsi E-KTP. Ada terduga lainnya dari unsur legislatif, eksekutif, dan korporasi.
"Ini pekerjaan panjang dan kita perlu mengawal pemeriksaan kasus ini agar tidak menguap," kata Hifdzil.
Saksikan video di bawah ini:
Tersangka
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Keputusan KPK ini diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Setya Novanto tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus e-KTP. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.
Dia pun menyatakan tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP. "Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Advertisement