Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, penetapan status tersangka terhadap Ketua DPR Setya Novanto tak akan berpengaruh kepada parlemen. Hal itu dibuktikan ketika Setya Novanto dicekal keluar negeri, tetap bisa digantikan pimpinan lain.
"Dia enggak bisa keluar negeri mewakili Indonesia, tapi kita yang mewakili. Masalahnya ada justice delay. Kasus ini perlu pembuktian," ujar Fahri di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Advertisement
Dia menegaskan, penetapan tersangka KPK tidak akan ada pengaruhnya juga dengan kinerja DPR. Karena, kinerja di DPR itu dilakukan secara kolektif atau bersama-sama.
"Kalau saya pribadi cenderung tidak ada perubahan karena perlu jaga stabilitas politik sambil KPK diuji nih. Kan pekan lalu dia (KPK) mengatakan, keputusan ini diambil untuk memuaskan rakyat, rakyat kan sudah puas dan akan nagih terus. Ada sekian gubernur dan menteri, hiburan seperti ini diteruskan aja dulu," kata dia.
Fahri lantas mempertanyakan alat bukti KPK yang menjadikan Ketua Umum Partai GolkarSetya Novanto sebagai tersangka.
"Saya sampai sekarang bingung, nenteng uang setengah triliun, Rp 10 juta aja ketangkap. Enggak boleh ngarang. Kita juga minta pertanggungjawaban, disebut mega korupsi, mana uangnya? Ini enggak ada uangnya, ada pengarangan gitu. Pusing kita sama KPK, uangnya enggak ada," kata dia.
Dia juga mengatakan, sejauh ini urusan DPR menjaga pengambilan keputusan tidak ada masalah.
"Kalau baca UU MD3 itu tidak ada masalah. Stabilitas DPR perlu dijaga. Cuma minta tolong KPK, yang disebut 2 alat bukti tuh mana. Saya enek lihat wartawan KPK," tutur dia.
Fahri juga mempertanyakan berapa uang yang diterima oleh Setnov jika benar disebut menjadi tersangka dugaan korupsi kasus e-KTP.
"Semalam itu kita nonton, waktu pulang Pak Nov, alat bukti, Pak tambahan bukti apa? Duit setengah triliun itu dari mana. Ingin lihat duit segitu nentengnya, kalau transfer ke mana?" kata dia.
"Ketua DPR Marzuki Alie terima Rp 20 miliar, Pak Nov ketua fraksi masak terima setengah Triliun, Ketua DPR harusnya terima lebih banyak. Yang ada uangnya cuma OTT doang," tegas Fahri.
Penetapan Tersangka
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Keputusan KPK ini diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Dalam dakwaan kasus e-KTP, Setya Novanto disebut menerima uang Rp 574,2 miliar.
Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Setya Novanto tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus e-KTP. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.
Dia menyatakan, tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP. "Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Saksikan video di bawah ini: