Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat, pada Senin 17 Juli 2017, mengumumkan bahwa Iran dinilai telah konsisten mematuhi pakta internasional pelucutan senjata nuklir selama beberapa waktu terakhir. Sebagai ganti atas kepatuhan itu, AS berniat untuk mencabut sejumlah sanksinya terhadap Iran.
Rencananya, AS akan memberikan "sertifikasi kepatuhan" terhadap Iran yang dinilai telah menaati Join Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015. Sertifikasi kepatuhan itu rutin diberikan secara berkala setiap 90 hari.
Baca Juga
Advertisement
JCPOA atau "Iran nuclear deal", merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.
Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.
Meski menyatakan Iran telah patuh terhadap pakta internasional pelucutan senjata nuklir, AS tetap menuding mereka "memiliki semangat pelucutan nuklir yang patut dipertanyakan", alias tidak percaya sepenuhnya pada iktikad ketaatan Tehran dalam beberapa waktu terakhir. Demikian seperti yang diwartakan oleh CNN, Rabu (19/7/2017).
Kritik serupa seperti itu juga pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, saat memberikan "sertifikat kepatuhan" terhadap Iran pada awal 2017.
Patuh atau Tidak Patuh?
Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi baru terhadap sejumlah entitas dan individu yang memiliki kaitan dengan Iran. Sanksi yang dijatuhkan pada Selasa, 18 Juli 2017 itu, diklaim AS sebagai bagian dari upaya untuk menekan "aktivitas mengkhawatirkan" Tehran di kawasan.
Penjatuhan sanksi baru itu muncul sehari setelah Washington DC menyatakan, pada Senin 17 Juli 2017, bahwa Iran dinilai telah mematuhi pakta internasional pelucutan nuklir.
"Amerika Serikat tetap waspada terhadap aktivitas mengkhawatirkan dari Iran di Timur Tengah, yang mampu mengancam stabilitas, keamanan, dan kesejahteraan di kawasan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert, seperti yang diwartakan CNN.
Nauert juga menyampaikan sejumlah kritik AS terhadap Iran, seperti --menurut klaim Washington, DC-- seperti perdagangan senjata, membantu kelompok teroris, mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad di Suriah, isu penyimpangan HAM, serta pengembangan misil dan hulu ledak nuklir yang dianggap melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pemerintah AS --melalui Kementerian Luar Negeri dan Keuangan-- telah menetapkan sanksi baru terhadap 18 entitas dan individu yang berafiliasi dengan Iran. Dua dari 18 entitas itu, menurut Nauert, diklaim "terlibat dalam aktivitas yang berkontribusi pada perdagangan senjata pemusnah massal".
Sementara 16 entitas lain, dianggap sebagai "organisasi kriminal transnasional, pebisnis, serta pedagang senjata dan alat militer," jelas Office of Foreign Assets Control, sub-direktorat Kemenkeu AS yang bertugas khusus dalam analisis dan penetapan sanksi.
Merespons penjatuhan sanksi baru itu, Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan bahwa hal tersebut, "tidak bermartabat dan omong kosong", serta berjanji akan "segera membalas" dengan sanksi serupa terhadap entitas asal AS.
Sementara pada Senin 17 Juli lalu di New York, Menlu Iran Javad Zarif menjelaskan bahwa, AS harus memikirkan; penjatuhan sanksi merupakan sebuah kepatutan hukum dan tidak boleh digunakan layaknya "aset" untuk menekan sebuah negara.
Menlu Zarif juga mengatakan, "Kepatuhan Iran terhadap pakta tersebut jelas adanya. Saya justru mempertanyakan mengapa AS masih menjatuhkan sanksi, sehingga mereka tampak ingin membuat entitas bisnis Iran terpinggirkan dari aktivitas finansial dunia."
Saksikan juga video berikut ini: