20 Juta Rumah Tangga RI Tak Punya WC

Salah satu penyebab kurangnya fasilitas sanitasi di desa lantaran tingkat kemiskinan yang masih tinggi.

oleh Septian Deny diperbarui 19 Jul 2017, 12:45 WIB
Jalur puncak macet membuat sejumlah pengendara memanfaatkan WC umum untuk membuang hajat mereka. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Jakarta - Tingkat kesenjangan sosial antara perkotaan dan pedesaan masih cukup tinggi. Salah satu faktanya yaitu soal ketersediaan fasilitas sanitasi di desa yang masih rendah.

Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Pedesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika mengatakan, hingga saat ini, masih ada sekitar 20 juta rumah tangga di desa yang belum memiliki WC.

"Saat ini ada 20 juta rumah tangga di desa tidak punya WC. Ini kalau dikalikan 4 (anggota keluarga) ada 80 juta orang tidak mendapatkan ini (fasilitas sanitasi yang baik)," ujar dia di kawasan Kalibata, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Menurut Erani, contoh kasus ini tidak hanya terjadi di desa-desa yang berlokasi di daerah pedalaman. Akan tetapi, kasus ini juga bisa ditemui di wilayah pinggiran ibu kota.

"Itu bukan isu di Papua NTT, Maluku, NTB, tapi di belakang (Bandara) Soekarno-Hatta kenyataan itu bisa kita temui," kata dia.

Erani menyatakan, salah satu penyebab kurangnya fasilitas sanitasi di desa lantaran tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Hal ini lantaran masyarakat desa tidak memiliki kewenangan dan akses untuk mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di desanya.

"Memang di desa surplus SDA tapi defisit penguasaan. Jadi desa itu Lumbung SDA tapi warga desa tidak memegang itu. Dorongan agar pembatasan lahan untuk korporasi harus diteruskan, tapi di DPR selalu mental," tandas dia.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rasio gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk turun tipis menjadi 0,393 di Maret 2017. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Yogyakarta, sedangkan yang terendah di Bangka Belitung.

Kepala BPS Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, rasio gini di Maret 2017 sebesar 0,393 menurun 0,001 poin dibanding realisasi 0,394 di September 2016. Sedangkan dibanding rasio gini Maret 2016 yang sebesar 0,397, capaian di Maret 2017 merosot 0,004 poin.

"Rasio gini stagnan, hampir nyaris sama atau tidak mengalami perubahan. Karena menurunkan ketimpangan bukan upaya yang mudah, perlu roadmap jangka panjang, idealnya pergerakan tiga tahun sekali," jelas Kecuk.

Lebih jauh Kecuk menambahkan, dari realisasi rasio gini 0,393, paling tinggi di wilayah perkotaan dengan rasio 0,407 dan perdesaan 0,320 di Maret ini. "Ketimpangan pengeluaran di kota jauh lebih buruk dibanding di desa. Persoalannya gap masyarakat bawah dan kalangan atas di kota lebar sekali," dia menjelaskan. 

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya