Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan mengakhiri program rahasia CIA untuk mempersenjatai dan melatih pemberontak Suriah yang memerangi rezim Bashar al-Assad. Menurut pejabat AS, langkah ini lama dinantikan Rusia.
Program tersebut merupakan bagian penting dari sebuah kebijakan yang dimulai oleh pemerintahan Barack Obama pada tahun 2013 untuk menggulingkan rezim Assad.
Seperti dikutip dari The Washington Post pada Kamis (20/7/2017) para pejabat AS mengatakan, penghentian program ini mencerminkan ketertarikan pemerintah Trump untuk bekerja sama dengan Rusia. Sejauh ini Negeri Beruang Merah konsisten, sikap anti-Assad merupakan serangan terhadap kepentingan mereka.
Penutupan program ini ditengarai juga merupakan "pengakuan" atas terbatasnya pengaruh Washington dan keinginan untuk menyingkirkan Assad dari kekuasaan. Baru tiga bulan lalu, AS menuding rezim Assad menggunakan senjata kimia hingga akhirnya Trump memerintahkan sebuah serangan udara ke pangkalan udara Suriah.
Saat itu, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan, "kita sama sekali tidak melihat perdamaian di kawasan yang dipimpin oleh Assad".
Sejumlah pejabat AS menuturkan, kebijakan Trump untuk menghentikan program mempersenjatai dan melatih pemberontak Suriah ini terjadi hampir satu bulan lalu tepatnya setelah sebuah pertemuan di Ruang Oval di Gedung Putih. Hadir dalam kesempatan itu adalah Direktur CIA Mike Pompeo dan penasihat keamanan nasional H.R. McMaster.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional dan CIA menolak untuk mengomentari kabar ini.
Pertemuan perdana Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin terjadi di sela-sela KTT G20 di Hamburg, Jerman pada awal Juli. Setelah tatap muka, kedua kepala negara mengumumkan sebuah kesepakatan untuk mendukung gencatan senjata baru di Suriah barat daya, sepanjang perbatasan Yordania, di mana banyak pemberontak Suriah yang didukung CIA telah lama beroperasi.
Trump menggambarkan kesepakatan gencatan senjata terbatas tersebut sebagai salah satu manfaat dari hubungan kerja yang konstruktif dengan Moskow.
Baca Juga
Advertisement
Para pejabat AS meyakini bahwa langkah untuk mengakhiri program mempersenjatai pemberontak Suriah bukanlah sebuah kondisi perundingan gencatan senjata yang berlangsung dengan baik.
Hubungan Trump dengan Rusia mendapat sorotan tajam menyusul tengah berlangsungnya penyelidikan atas dugaan campur tangan Kremlin dalam Pilpres AS 2016. Kebijakan Trump pun dinilai akan disambut baik Rusia yang memutuskan untuk mengintervensi perang Suriah pada tahun 2015.
"Ini merupakan keputusan penting. Putin menang di Suriah," ungkap seorang pejabat yang enggan menyebut namanya ketika membahas program rahasia tersebut.
Dengan berakhirnya program rahasia CIA, maka keterlibatan AS di Suriah saat ini hanya tinggal kampanye memerangi ISIS dan melatih pasukan pemberontak Kurdi untuk menumbangkan kelompok teroris tersebut di Raqqa dan di sepanjang lembah sungai Eufrat.
Beberapa analis menilai, keputusan untuk mengakhiri program tersebut kemungkinan akan memperkuat lebih banyak kelompok radikal di Suriah dan merusak kredibilitas AS.
"Kita jatuh ke perangkap Rusia," kata Charles Lister, seorang ahli di Middle East Institute.
Namun, ada pula yang mengatakan bahwa kebijakan Trump merupakan pengakuan atas keberadaan Assad yang tidak dapat diganggu gugat di Suriah.
"Ini mungkin sebuah 'anggukan' terhadap kenyataan," ujar Ilan Goldenberg, seorang eks pejabat era Barack Obama yang juga direktur Middle East Security Program di Center for a New American Security.
"Jika mereka mengakhiri bantuan kepada pemberontak, maka itu adalah sebuah kesalahan strategis yang sangat besar," tambahnya.
Beberapa pejabat AS mengatakan, keputusan Trump didukung oleh Yordania, negara yang menjadi lokasi pelatihan para pemberontak Suriah.
Sementara itu, pada awal bulan ini Trump mengindikasikan terdapat kesepakatan lain yang tengah dalam pembahasan dengan Moskow. "Kami tengah bekerja untuk menghasilkan kesepakatan gencatan senjata kedua di bagian Suriah yang sangat parah. Jika kita berhasil melakukan itu dan beberapa lainnya, kita tidak akan memerlukan peluru untuk ditembakkan di Suriah".
Sebenarnya, jelang akhir pemerintahan Obama, sejumlah pejabat juga pernah menyarankan untuk mengakhiri program rahasia CIA ini. Mereka beralasan, pergerakan oposisi Suriah tidak akan efektif tanpa dukungan skala besar dari AS.
Meski demikian, sebagian besar penasihat Obama berpendapat bahwa AS tidak dapat meninggalkan sekutunya begitu saja mengingat akan berujung kerusakan terhadap kepentingan AS di kawasan.
Kendati mempersenjata pemberontak Suriah, namun Obama menolak memberikan senjata antipesawat canggih dengan alasan kekhawatiran AS akan terjebak dalam konflik dengan Rusia.
Simak pula video berikut: