Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) sekaligus Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo mendukung rencana pemerintah mengubah batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari tunggal atau nasional menjadi berbasis wilayah atau zonasi. Alasannya formula PTKP di RI saat ini sudah ketinggalan zaman dibanding negara lain.
"Jika dibandingkan negara lain, formulasi PTKP Indonesia jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar," kata Prastowo dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Dalam praktiknya, Prastowo mengungkapkan, ada beberapa variasi PTKP dengan menambah aspek berdasarkan gender atau perempuan bekerja dan single parent mendapat insentif besar seperti yang diterapkan di Singapura dan India.
Selanjutnya, memasukkan komponen pekerja usia non produktif pada PTKP yang dijalankan di Argentina, Afrika Selatan, dan Maroko. Kompensasi sosial diterapkan di Ghana, Meksiko, Maroko, dan Uganda. Serta tunjangan anak di keluarga berpenghasilan rendah di Inggris. Sementara Kanada memberlakukan PTKP dengan model zonasi berbasis provinsi.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi ide Dirjen Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal atau nasional menjadi berbasis wilayah atau zonasi patut diapresiasi sebagai kemajuan paradigmatik dalam upaya memahami dan menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif," jelas Prastowo.
Akan tetapi, sambungnya, kebijakan PTKP hendaknya tidak untuk tujuan penggalian potensi atau menambah penerimaan negara, melainkan secara komprehensif dan holistik dalam model dan skema insentif yang lebih tepat sasaran. Kebijakan ini pertama bukan untuk mengejar penerimaan, melainkan mendesain arsitektur insentif yang lebih adil dan terukur.
"PTKP menurut UU disesuaikan dengan memperhitungkan harga kebutuhan pokok, dapat disesuaikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan DPR. Jadi Upah Minimum Provinsi (UMP) dapat dijadikan salah satu rujukan dalam menyusun PTKP," ia menerangkan.
Lebih jauh tutur Prastowo, selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi. Terakhir, kenaikan PTKP pada 2016 menjadi Rp 4,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp 3 juta per bulan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga.
"Realisasinya menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 triliun dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Jadi perlu dilakukan evaluasi, apakah penerapan cash transfer yang lebih tepat sasaran dan terukur dapat menjadi pilihan yang lebih baik," paparnya.
Wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil. Model zonasi juga dimungkinkan mengingat gap penghasilan dan UMP antar wilayah yang cukup lebar. Ini demi memastikan prinsip “ability to pay” dapat diimplementasikan dengan baik.
"Kenaikan PTKP untuk melindungi daya beli masyarakat sangat sensitif jika diturunkan dalam waktu dekat, apalagi bila membuat kelompok berpenghasilan rendah harus dikenai pajak," ujarnya.
Untuk itu formulasi dan simulasi yang matang, sosialisasi yang jelas, waktu yang tepat, dan administrasi yang baik mutlak dibutuhkan.
"Pemerintah tidak perlu terburu-buru demi memastikan kebijakan ini tepat sasaran, tepat guna, dan tepat hasil," pungkas Prastowo.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: