KOLOM: Bursa Transfer Sepak Bola Semakin Gila

Dunia sepak bola lewat bursa transfernya makin menunjukkan kegilaan yang sulit dipahami.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jul 2017, 08:00 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Sungguh gila. Benar-benar gila. Ya, sepak bola semakin gila saja. Apalagi di bursa transfer yang tengah berlangsung sekarang. Harga pemain kian tak masuk akal. Rekor transfer pun bertumbangan.

Tengok saja Kyle Walker yang jadi Fullback termahal dunia dengan nilai transfer 51 juta euro. Lihat juga Romelu Lukaku yang kini menggenggam predikat striker termahal di Premier League demgan banderol 85 juta euro. Jangan lupakan pula Alvaro Morata yang memecahkan rekor transfer di Real Madrid dan Spanyol. Kabarnya, dia bergabung ke Chelsea dengan biaya 80 juta euro.

Gary Lineker, pencetak gol terbanyak Piala Dunia 1986, sampai tak tahan berkomentar. Lewat akun Twitter-nya, di berujar, "Fullback, Kyle Walker menjadi bek termahal dunia dengan (harga) 50 juta pounds lebih. Bayangkan berapa harganya bila dia bisa melepaskan umpan silang."

Tak hanya itu. Agen-agen pemain pun berulah. Mino Raiola membuat AC Milan berang karena dianggap menghasut kliennya, Gianluigi Donnarumma, untuk tak mau menandatangani perpanjangan kontrak. Raiola membantah tudingan itu dan pada akhirnya, Donnarumma menyepakati kontrak baru yang membuatnya mendapat gaji fantastis, 5 juta euro per tahun. Di kalangan para kiper, gajinya kini hanya kalah dari Manuel Neuer dan David de Gea. Sungguh gila bursa transfer sepak bola dunia!

Sementara itu, di Prancis, sensasi dibuat agen Marco Verratti, Donato Di Campli. Dia sempat mengatakan kliennya tak ubahnya tahanan penguasa Qatar, merujuk pada pemilik Paris Saint-Germain. Gilanya, Verratti kemudian justru beralih kepada Raiola. Entah apa yang ada di benak gelandang timnas Italia itu saat membuat putusan tersebut.



Situasi ini membuat Max Eberl, Direktur Olahraga Borussia Moenchengladbach, geleng-geleng kepala. "Ini sudah gila. Seperti (main) monopoli saja," kata dia kepada Kicker. "Ini tidak sehat. Kita harus lebih sensitif dan hati-hati agar sepak bola tak kehilangan jati dirinya."

Sebagai orang yang bertanggung jawab pada lalu lintas pemain di klubnya, Eberl tahu persis tekanan luar biasa di bursa transfer. Bukan hanya agen, pemain, dan klub-klub kaya yang gila. Para fans ikut ketularan gila juga. Mereka tak henti bertanya ketika klub tak jua mendatangkan pemain baru.

Kyle Walker menjadi bek tengah termahal di Liga Inggris saat ini (EPA/Peter Powell)


Tak Ada Respek

Jurgen Klopp juga aktif di bursa transfer pemain

Hal serupa dialami Juergen Klopp. Siapa pun tahu, setiap musim, betapa berisiknya para kopites saat menuntut Liverpool membeli pemain baru. Mereka yakin The Reds harusnya mampu mendatangkan siapa saja. Liverpool punya sejarah luar biasa. Soal duit, mereka pun masih salah satu yang terkaya di dunia. Menurut laporan Deloitte Football Money League 2017, pendapatan The Reds musim 2015-16 adalah yang terbesar ke-9 dengan menembus angka 400 juta euro.

Klopp sempat mengungkapkan kegerahannya. "Jika ada fans yang berpikir, 'Apa yang telah dilakukan klub lain dan kenapa kami tak melakukan apa pun?', saya hanya bisa menjawab, maaf. Kami tidak membeli pemain hanya karena klub-klub lain melakukan hal itu," tuturnya seperti dikutip Chronicle Live.

Toh, Klopp juga bukanya tak gila. Buktinya, Liverpool terus saja menyorongkan tawaran kepada RasenBallsport Leipzig untuk gelandang Naby Keita. Tentu ada peran Klopp di sana. Beberapa kali penolakan Leipzig tak membuat Liverpool mundur. Setiap kali ditolak, The Reds kembali dengan tawaran lebih tinggi.

Kamis (20/7/2017), The Reds dikabarkan telah mengajukan tawaran baru sebesar 75 juta euro. Itu sungguh gila karena menurut valuasi Transfermarkt, harga Keita hanya 27 juta euro. Tawaran Liverpool itu 50 kali lipat dari jumlah yang dikeluarkan Red Bull Salzburg untuk mengangkut Keita dari FC Istres, tiga tahun lalu. Ya, hanya tiga tahun berselang, harga Keita melonjak gila-gilaan.

Lebih gila lagi, tawaran bertubi-tubi itu tetap dilakukan meski manajemen Leipzig memasang label "not for sale" kepada gelandangnya itu. Dulu, ketika label tersebut dipasang, klub-klub peminat menaruh hormat. Mereka perlahan mundur teratur. Ya, itu dulu, sebelum zaman sudah semakin gila. Ketika loyalitas masih meraja. Saat one club man sesuatu yang lumrah saja.

Gelandang RB Leipzig , Naby Keita. (AFP/Robert Michael)

Kini, mereka yang mencoba tidak gila dan menjaga rasionalitas justru dibilang gila. Tengok saja Leipzig yang dikatakan gila karena menolak tawaran begitu besar dari Liverpool. Bukankah dengan uang itu runner-up Bundesliga 1 tersebut bisa menemukan berlian-berlian lainnya yang sekelas Keita? Mereka tak peduli bahwa Leipzig adalah sebuah proyek besar Dietrich Mateschitz. Bagaimana proyek itu akan berhasil bila pilar-pilarnya dibiarkan lepas satu demi satu?

Jika Mateschitz dan Leipzig saja gila, tentu Uli Hoeness dan Bayern Muenchen pantas disebut mahagila. Bayern adalah klub dengan pendapatan terbesar ke-4 dunia. Di Jerman, tentu saja yang mahakaya. Mereka pun tak punya utang. Tapi, untuk urusan membeli pemain justru pelit bukan main. Memang betul, Corentin Tolisso dan Javi Martinez dibeli dengan harga 40 jutaan euro. Tapi, apalah angka itu dibanding Lukaku, Walker, dan Morata.

Sungguh gila. Punya uang, tak ada utang, tapi tak mau investasi besar-besaran. Bagaimana bisa menguasai Eropa lagi? Die Roten malah kukuh memegang prinsip keseimbangan neraca keuangan. Mereka berhenti mengejar Alexis Sanchez hanya karena menilai gaji yang diminta bakal mengganggu keseimbangan itu. Gila! Pemain bintang ya memang harus dibayar mahal!


Kegilaan PSSI

Carlton Cole, marque player yang gagal total di Liga 1

Bagaimana dengan sepak bola Indonesia? Ya gila juga. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja Gojek Traveloka Liga 1. Awalnya, kegilaan itu berupa kehadiran marquee player yang nggak marquee-marquee amat. Lalu, ada keharusan klub pasang tiga pemain U-23 di starting line-up demi menyokong target timnas juara SEA Games dan masuk 4-besar Asian Games.

Eh, gilanya, di tengah jalan, belum juga paruh musim, peraturan diubah begitu saja. Keharusan memasang tiga pemain U-23 dihapuskan begitu saja. Ini menunjukkan aturan itu sejak awal memang gila, tak dikaji dalam-dalam terlebih dulu.

Kini, jelang paruh musim, ada kegilaan lain. PT Liga Indonesia Baru dan PSSI menyepakati pemakaian wasit FIFA dari luar negeri untuk memimpin laga-laga pada paruh kedua. Alasannya karena banyak keluhan soal wasit dan demi meningkatkan kualitas liga. Setelah marquee player, kini akan datang marquee referee.

Sungguh gila menganggap kehadiran wasit asing bersertifikat FIFA akan mengurangi putusan-putusan menggelikan sekaligus gila di lapangan. Lha wong di kancah internasional saja hal itu masih ada. Bundesliga 1 musim lalu diwarnai banyak kontroversi padahal ada sepuluh wasit bersertifikat FIFA yang berkiprah di sana.

Wasit tetap saja manusia biasa yang bisa alpa. Sampai-sampai FIFA menerapkan teknologi-teknologi khusus untuk membantunya. Awalnya goal-line technology (GLT). Belakangan ada video assistant referee (VAR). Jadi, ya gila saja berharap wasit asing bersertifikat FIFA bisa tampil tanpa cela.

Marquee player Madura United, Peter Odemwingie(kanan) salah satu pembelian sukses di Liga 1 (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Lagi pula, kalau masalah kualitas wasit, ya harusnya fasilitasi saja wasit-wasit yang ada untuk meningkatkan kualifikasinya. Bagaimanapun, bukankah pada akhirnya kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada wasit-wasit dari luar negeri? Gila saja kalau sampai harus selalu menggunakan marquee referee.

Ah, ngomong-ngomong, sepertinya klub-klub Liga 1 butuh marquee trainer juga. Bukan apa-apa, belum setengah musim, sudah tujuh klub yang melakukan pergantian pelatih. Terakhir, Djadjang Nurdjaman yang akhirnya direstui mundur oleh manajemen Persib. Tujuh pergantian pelatih. Sungguh gila.

Eh, tapi bukankah itu justru seharusnya membuat kita bangga? Bukan apa-apa, di Premier League musim lalu, ada delapan pergantian pelatih dalam setengah musim kompetisi. Liga 1 setara Premier League? Ah, sudahlah, jangan tambah gila!

 

*Penulis adalah seorang jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya