Pergantian Putra Mahkota Arab Saudi Diwarnai 'Kudeta'?

Beberapa waktu lalu, kerajaan Arab Saudi mengumumkan pergantian putra mahkota. Kuat dugaan ada plot penggulingan di balik peristiwa itu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Jul 2017, 19:00 WIB
Mohammed bin Salman ditunjuk jadi putra Mahkota Arab Saudi (Foto:Hassan Ammar/AP)

Liputan6.com, Riyadh - Nyaris sebulan lalu, dunia dikejutkan dengan keputusan Kerajaan Arab Saudi. Mendadak, mereka mengumumkan pergantian putra mahkota dari Pangeran Mohammed bin Nayef (57) ke Pangeran Mohammed bin Salman (31).

Berbagai spekulasi merebak. Dalam laporannya pada 18 Juli lalu, The New York Times memuat plot Pangeran Mohammed bin Salman untuk menyingkirkan Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai pewaris takhta. Informasi ini didapat dari sejumlah pejabat Amerika Serikat dan kerabat kerajaan.

Dijelaskan, sebelum pergantian putra mahkota diumumkan, sempat terjadi insiden "penyekapan". Saat itu, 20 Juni 2017 malam, sekelompok pangeran senior dan pejabat keamanan berkumpul di Istana Safa di Mekkah setelah diinformasikan bahwa Raja Salman ingin bertemu dengan mereka.

Sebelum tengah malam, Pangeran Mohammed bin Nayef diberitahu bahwa ia akan bertemu dengan raja. Karenanya, ia digiring ke ruangan lain. Namun yang terjadi, ponselnya disita dan ia ditekan untuk menyerahkan jabatannya sebagai putra mahkota dan menteri dalam negeri.

Menurut sumber informasi yang sama, awalnya Pangeran Mohammed bin Nayef menolak. Namun, seiring berjalannya waktu, pria yang pernah mengalami percobaan pembunuhan pada tahun 2009 itu semakin lelah.

Sementara itu, pejabat istana memanggil anggota Dewan Allegal yang terdiri dari sekumpulan pangeran senior yang bertugas menyetujui perubahan pada garis suksesi. Mereka diberi tahu bahwa Pangeran Mohammed bin Nayef terlibat masalah narkoba dan tidak layak untuk menjadi raja.

Selama bertahun-tahun, teman dekat Pangeran Mohammed bin Nayef telah mengungkapkan keprihatinan mereka tentang kesehatannya. Sejak percobaan pembunuhannya, ia mengalami sakit dalam waktu yang lama dan menunjukkan tanda-tanda gangguan stres pascatrauma. Kondisi tersebut menyebabkan ia mengonsumsi obat sehingga membuat beberapa temannya khawatir ia telah kecanduan.

Mantan putra mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Nayef (AP)

"Bukti yang saya lihat adalah bahwa ia sangat terluka dengan upaya pembunuhannya dibanding yang diakuinya, dan kemudian ia rutin mengonsumsi pembunuh rasa sakit yang sangat adiktif. Saya rasa masalah itu memburuk," demikian dijelaskan mantan pejabat dan direktur Intelligence Project di Brookings Institution Bruce Riedel seperti dikutip dari The New York Times pada Jumat (21/7/2017).

Seorang pejabat Amerika dan seorang penasihat ke sebuah kerajaan Saudi mengatakan bahwa Mohammed bin Nayef menentang embargo Qatar, sebuah sikap yang mungkin mempercepat penggulingannya.

Pangeran Mohammed bin Nayef setuju untuk mengundurkan diri sebelum subuh. Sebuah video yang beredar menunjukkan, Pangeran Muhammed bin Salman mencium tangannya.

"Kami tidak akan pernah mengabaikan instruksi dan nasihat Anda," ujar Pangeran Muhammed bin Salman kala itu.

Sementara, Pangeran Mohammed bin Nayef membalasnya dengan mengatakan, "Semoga berhasil, Insya Allah".

Mohammed bin Nayef kemudian kembali ke istananya di Jidda. Kabarnya, ia dilarang meninggalkan kediamannya.

Yang juga ikut "dikurung" di istana itu adalah Jenderal Abdulaziz al-Huwairini, seorang kepercayaan Mohammed bin Nayef. Ia memiliki peran sangat penting terkait hubungan keamanan dengan Amerika Serikat.

Beberapa hari kemudian, sejumlah pejabat CIA memberi tahu Gedung Putih atas kekhawatiran mereka bahwa penggulingan Mohammed bin Nayef dan kemungkinan pemecatan Jenderal Huwairini dan petugas keamanan lainnya, dapat menghambat upaya berbagi intelijen antar kedua negara.

Disebutkan oleh pejabat senior Saudi, Jenderal Huwairini masih memegang jabatannya dan bersama dengan sejumlah perwira senior lainnya, ia telah berjanji setia kepada Mohammed bin Salman.

Posisi Mohammed bin Nayef sebagai menteri dalam negeri kini digantikan oleh keponakannya yang berusia 33 tahun, Pangeran Abdulaziz bin Saud bin Nayef. Ia dikabarkan dekat dengan Mohammed bin Salman.

 

Simak pula video berikut:


Persaingan Dimulai pada 2015

Seorang pejabat senior Saudi membantah kabar bahwa Pangeran Mohammed bin Nayef telah mendapat tekanan. Kepada The New York Times yang bersangkutan menjelaskan bahwa Dewan Allegal telah menyetujui pergantian demi "kepentingan terbaik bangsa".

Dalam pernyataannya, pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa Pangeran Mohammed bin Nayef merupakan orang pertama yang berjanji setia kepada putra mahkota baru. Menurutnya, momen pernyataan kesetiaan tersebut telah direkam dan akan disiarkan.

"Mantan putra mahkota menerima sejumlah tamu setiap hari di istananya di Jidda dan ia telah mengunjungi raja serta putra mahkota lebih dari satu kali," ujar pejabat tersebut.

Persaingan antar dua pangeran dikabarkan dimulai pada tahun 2015 tepatnya ketika Raja Salman naik takhta. Berkuasanya sang ayah, membuat Pangeran Mohammed bin Salman yang konon merupakan putra kesayangan diberikan kekuatan luar biasa.

Sang pangeran muda langsung ditunjuk sebagai wakil putra mahkota atau berada di urutan kedua calon raja. Selain itu, ia juga diberi jabatan sebagai menteri pertahanan, pemimpin dewan ekonomi, dan diberi keleluasaan untuk mengendalikan perusahaan minyak Saudi Aramco.

Donald Trump Bertemu Pangeran Mohammed bin Salman di Gedung Putih (AP Photo/Evan Vucci)

Reputasi Pangeran Mohammed bin Salman seketika meningkat melalui sejumlah lawatan. Ia berkunjung ke China, Rusia, AS di mana ia dikabarkan telah bertemu dengan pendiri Facebook Mark Zuckerberg hingga Presiden Donald Trump.

Pangeran Mohammed bin Salman juga memotori lahirnya Visi 2030, sebuah rencana ambisius untuk masa depan kerajaan yang berupaya mentransformasi ekonomi dan memperbaiki kehidupan warga di negara itu.

Pendukung Pangeran Mohammed bin Salman, memujinya sebagai seorang visioner yang bekerja keras dan telah mengatasi berbagai tantangan dengan cara luar biasa. Salah satu programnya yakni meningkatkan hiburan di negara yang sangat konservatif telah membuatnya mendapat sokongan dari kalangan muda Saudi.

Di lain sisi, bagi para pengkritiknya, Pangeran Mohammed bin Salman merupakan sosok gegabah yang haus kekuasaan. Ia dinilai telah menyeret negaranya dalam sebuah perang mahal, tapi  gagal di Yaman juga berseteru dengan negara tetangga, Qatar, yang memicu lahirnya Krisis Teluk.

Tingkat dukungan bagi Pangeran Mohammed bin Salman sendiri disebut-sebut masih belum jelas. Media kerajaan Saudi melaporkan, 31 dari 34 anggota Dewan Allegal mendukung perubahan. Namun, para analis mengatakan, banyak bangsawan ragu untuk memberikan suara mereka atas pergantian ini.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya