Liputan6.com, Jakarta - Sidang paripurna DPR, Kamis, 20 Juli 2017 malam berlangsung riuh. Bahkan cenderung sengit. Beberapa fraksi di DPR tetap pada keputusannya masing-masing.
Pangkal dari perdebatan itu adalah ambang batas kursi untuk mencalonkan presiden (presidential threshold). Pemerintah mengusulkan di angka 20-25 persen.
Advertisement
Usulan pemerintah didukung beberapa partai politik pendukungnya. Seperti Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, PPP, dan Fraksi Partai Golkar. Belakangan Fraksi PKB ikut bergabung dalam barisan.
Sedangkan, Fraksi yang menolak batasan tersebut alias presidential threshold 0 persen adalah Partai Gerindra, PKS, dan Demokrat. Sementara Fraksi PAN mencoba mencari jalan tengah dengan menawarkan 1-15 persen sebagai ambang batas pencalonan presiden.
Walk Out
Karena musyawarah tidak mencapai kata mufakat, voting pun menjadi solusi. Fraksi PAN yang sebelumnya berada di posisi tengah, memilih walk out (WO) dari sidang paripurna dan masuk dalam barisan penolak.
Sehingga genap empat fraksi yang menolak presidential threshold 20 persen: Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN.
Sekretaris Fraksi PAN Yandri Sudanto mengatakan, meskipun fraksinya walk out, namun pihaknya tetap menghormati keputusan yang dihasilkan nantinya terhadap RUU Pemilu.
"Kami tetap menghormati voting," kata Yandri di hadapan anggota dewan sebelum meninggalkan ruangan.
Pimpinan sidang paripurna DPR, Setya Novanto, kemudian bertanya kepada anggota dewan yang tersisa, "Dengan begitu apakah RUU Pemilu mengambil Paket A. Apakah bisa disetujui?"
Sebelum Novanto memukulkan palu, Fahri Hamzah mendekat dan berbisik. "Setuju tapi minus satu," kata Novanto. Maksudnya, Fahri tidak menerima Paket A tersebut. Dia sebelumnya sudah mengatakan memilih Paket B.
Maka, diputuskan RUU Pemilu disahkan dengan memuat materi-materi di Paket A. Yaitu, presidential threshold 20-25 persen, parliamentary threshold 4 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi per dapil, metode konversi suara saint lague murni.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Pemerintah Puas
Wakil Presiden Jusuf Kalla merasa puas dengan Undang-Undang Pemilu yang disahkan di DPR RI Jumat dini hari tadi. Dia menilai UU yang dihasilkan, khususnya untuk presidential threshold atau ambang batas presiden, bagus.
Dengan hasil demikian, pria yang akrab disapa JK itu menuturkan, demokrasi tetap berjalan. Karena sebenarnya ambang batas 20 persen sudah teruji.
"Ini kan demokrasi berjalan. Dan itu seperti kita ketahui, 20 persen itu berarti tidak ada perubahan. Itu bagus, supaya ada konsistensi. Karena pemilu yang lalu 20 persen, sekarang 20 persen, sebelumnya juga. Dan itu berjalan," kata JK di kantor Wapres, Jakarta, Jumat, 21 Juli 2017.
Dengan tidak berubahnya ambang batas presiden, ia menuturkan, maka aturan yang dibuat akan semakin berjalan dengan baik. Sebab, bisa melihat apa yang sudah pernah diberlakukan.
"Jadi supaya ada konsistensi kita dalam mengatur aturan itu. Jangan berubah-ubah. Dan semua berjalan dengan baik," tegas JK.
Hasil pembahasan revisi UU Pemilu, ia menegaskan, sudah sesuai dengan ekspektasi atau harapan pemerintah. Karena semuanya ingin berjalan konsisten.
"Iya (sesuai ekspektasi). Pemerintah ingin konsisten," tandas JK.
Advertisement
Sengketa
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mempersilakan uji materi terhadap UU Penyelenggaraan Pemilu yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Jumat, 21 Juli 2017 dini hari.
"Soal nanti akan ada elemen masyarakat atau anggota partai politik yang tidak puas, ya silakan. Ada mekanismenya, lewat MK. Yang penting malam hari ini pemerintah bersama DPR menyelesaikan undang-undang ini," kata Tjahjo usai Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Jakarta.
Hal itu mengomentari rencana beberapa pihak yang akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas partai mengajukan calon presiden yang di dalam UU Pemilu terbaru sebesar 20 persen untuk perolehan kursi di DPR dan/atau 25 persen perolehan suara nasional.
Menurut Tjahjo, presidential threshold yang disahkan dalam Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Pemilu sudah sesuai dengan konstitusi.
"Sebagaimana pandangan yang kami sampaikan, berkaitan dengan presidential threshold itu adalah konstitusional. Baik itu mencermati UUD 45 atau dua keputusan MK," ujar dia seperti dilansir dari Antara.
Sementara Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengaku tidak ambil pusing terkait fraksi yang memilih keluar atau walk out saat rapat paripurna pengesahan Revisi UU Pemilu menjadi UU Pemilu. Yasonna mengatakan, palu tanda pengesahan UU Pemilu sudah diketok pimpinan DPR.
"Kan UU Pemilu sudah diketok, ada empat fraksi yang tidak setuju. Keputusan kemarin itu adalah keputusan yang disepakati pemerintah dan DPR, bahwa ada yang walk out sah-sah saja," kata Yosanna saat ditemui di Gedung Kemenkumham Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 21 Juli 2017.
Dia pun mempersilakan fraksi yang tidak puas atas keputusan rapat paripurna yang memutuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20-25 persen, mengirimkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Soal UU Pemilu silakan, itu mekanismenya ada. Kalau mau gugat ke MK silakan, itu mekanisme dan hak setiap orang. Kalau ada masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan di sana, silakan," tutur politikus PDIP itu.
Yakin Menang
Yusril Ihza Mahendra merupakan salah satu tokoh yang mengkritisi disahkannya UU Pemilu. Pakar hukum tata negara itu pun mengatakan siap mengajukan uji materi UU Pemilu terkait ambang batas presiden (presidential threshold) 20-25 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Secepat mungkin setelah RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi," tulis Yusril dalam keterangan tertulis, Jumat, 21 Juli 2017.
Keberadaan presidential threshold dalam pemilu serentak, ia menjelaskan, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45.
Pasal 6A ayat (2), lanjut dia, mengatur, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."
"Lalu, pemilihan umum yang mana yang pesertanya partai politik? Jawabnya ada pada Pasal 22E ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD," jelas Yusril.
Karena itu, dengan memahami dua pasal UUD 45 tersebut, tidak mungkin presidential threshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Jadi pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik Pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak, presidential threshold mestinya tidak ada," tutur Yusril.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yakin, judicial review atau uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan dikabulkan. Sebab, konsep presidential threshold bertentangan dengan prinsip pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara langsung.
"Saya punya perasaan bahwa itu (uji materi) bisa menang. Jadi ini bertentangan," ucap Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juli 2017.
Ia mengatakan, presidential threshold bisa menciptakan manajemen politik yang tak terkendali. Sebab, partai yang memperoleh lebih dari 20 persen itu bisa memberikan tantangan kepada pemerintah. Bahwa dia punya kandidat alternatif untuk lima tahun lagi.
Advertisement