Ahli Tata Negara Ungkap Alasan Ambang Batas 20 Persen Langgar UU

Ambang batas 20 persen sebenarnya syarat untuk "menyandera" presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensial.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Jul 2017, 06:29 WIB
Ahli Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin (kemeja merah) memberikan keterangan saat diundang oleh Panitia Hak Angket DPRD DKI Jakarta, Rabu (25/3/2015). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin berpendapat keputusan sidang paripurna DPR mengenai ambang batas presiden 20-25 persen untuk pencalonan presiden, melanggar konstitusi. Tidak hanya itu, presidential threshold 20-25 persen itu tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini jelas-jelas pelanggaran konstitusi. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa hak setiap parpol peserta pemilu mengusulkan pasangan capres," kata Irmanputra di Jakarta, Jumat, 21 Jumat 2017.

Secara pribadi, dia terlibat langsung dalam pengajuan uji materi UU di MK agar pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan.

Irman menjelaskan, putusan MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden bagi partai politik tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensial.

Pada penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009, untuk mendapat dukungan keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, calon presiden terpaksa melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan parpol. Ini sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

"Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada strategis dan jangka panjang, misalnya, karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang," beber Irman, seperti dilansir Antara.

Namun, dia mengatakan, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.

"Dengan demikian, sebenarnya syarat ambang batas yang telah diputuskan DPR dan Presiden sebenarnya syarat untuk "menyandera" presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensial," ujar Irman.

Ambang batas tersebut, lanjut dia, sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena "kawin paksa capres", mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar, sehingga pilihan pasangan calon akan semakin mempersempit menu prasmanan capres dari setiap parpol.

Tidak hanya sampai di situ, Irman mengungkapkan, parpol yang memperoleh kursi di DPR pada Pemilu 2014, tidak serta merta mendapatkan kursi lagi pada pemilu 2019. Sehingga, kata dia, intensi penguatan presidensial tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri (contra legem), yang justru menyandera dan melemahkan kekuasaan presiden terpilih.

"Oleh karenanya ambang batas ini (presidential threshold 20-25 persen) adalah inkonstitusional," kata Irmanputra.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya