'Bukan Perawan Maria', Demi Beragama yang Santai dan Toleran

Dalam buku ini, terdapat 19 cerita karya Feby Indirani yang coba merefleksikan situasi kekinian dalam kehidupan beragama.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 23 Jul 2017, 18:03 WIB
Feby Indirani, penulis "Bukan Perawan Maria" (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - Bukan Perawan Maria. Sekilas judul buku kumpulan cerita tersebut membuat pembaca mengaitkan kepada kisah Nabi Isa dengan Bunda Maria. Namun, sang penulis, Feby Indirani, bukan ingin membedah proses kehamilan Maria.

Dalam obrolan dengan Liputan6.com, ia mengungkapkan, tujuan penulisan karya anyarnya ini untuk merefleksikan kehidupan beragama di Indonesia yang kini kental dengan ketegangan. Menurutnya, terlalu gampang menuding dan mengkafirkan golongan lain.

"Sekarang sedikit-dikit pinginnya marah, menuding kafir," ungkapnya saat ditemui di Pameran dan Festival Mini yang menyertai penerbitan buku itu di Taman Ismail Marzuki, Sabtu 22 Juli 2017.

Wanita yang lama berkarier di dunia media ini pun teringat, bagaimana masa kecilnya yang dipenuhi rasa toleransi keberagamaan yang kuat.

"Saya dibesarkan dengan buku-buku sufi, jokes jokes Gus Dur, juga cerita Abu Nawas. Saya merindukan keadaan beragama yang tenang lagi," ingat Feby.

Dalam bukunya, terdapat 19 cerita yang coba memotret situasi kekinian. Situasi itu jauh terbentuk sebelum isu agama meningkat, khususnya di era Pilkada DKI 2017.

"Contohnya bagaimana suara pengeras suara azan yang seakan tak ada aturannya, atau bagaimana banyak jalan ditutup kala salat Jumat," kata dia.

Dengan fiksi, Feby mengatakan, tidak ada yang namanya benar di atas benar. Semua dapat berimajinasi, menaruh empati dan memiliki tafsir masing-masing.

"Saya hanya ingin bercerita, tafsir terserah pembaca, karena fiksi bisa membuat seorang sesaat saja di posisi orang lain, jadi bukan tergantung benar dan salah," kata Feby.


Pameran dan Festival yang Menyertai

Bukan Perawan Maria diterbitkan Pabrikultur. Beberapa tema dari 19 cerpen itu adalah malaikat yang lelah dengan ulah manusia sehingga ingin cuti, seekor babi yang dicap binatang haram tetapi ingin masuk Islam, dan pertanyaan malaikat di alam kubur yang tidak terduga.

Semua menjadi benang merah demi tujuan merelaksasi beragama, karena menurut alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad itu, tidak perlu ada ketegangan dalam melakoni hidup beragama.

Pameran dan Festival Mini itu masih akan berlangsung hingga 25 Juli 2017. Hikmat Darmawan, sang kurator acara, menyatakan kegiatan ini bermula dari keinginan Feby untuk meluncurkan buku tanpa kelaziman upacara peluncuran buku yang mengharuskan penulis membahas-bahas tulisannya sendiri.

Pameran dan Festival Mini

"Apalagi ini fiksi, Feby percaya bahwa setelah diudar ke dunia, sidang pembaca punya hak menafsirkan fiksi yang telah dituliskan. Bagaimana jika bikin sebuah pameran tafsir rupa atas cerita-cerita itu?" tulis Hikmat di akun Facebooknya.

Lihatlah, di salah satu titik, tergeletak sebuah pengeras suara. Di depannya, ada puluhan tanah liat berbentuk telinga. Ini adalah tafsir atas cerita tentang azan salat dirasakan mengganggu sebagian orang. 

Pameran ini menyuguhkan beragam media seni. Tidak hanya lukisan, melainkan juga, misalnya, seni digital melalui video mapping dengan sensor gerak kinetik.

"Ada seniman digital dari Bandung, dengan video mapping, menginterpretasi surga dan neraka dari cerita di dalam buku," ungkap Hikmat.

Sebelum Bukan Perawan Maria, Feby telah menerbitkan sejumlah karya fiksi dan nonfiksi. Di antaranya Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (Pusat Data Analisa Tempo, 2005), Simfoni Bulan (MediaKita, 2006) , I Can (Not) Hear (Gagas Media, 2008), dan Alien itu Memilihku (Gramedia Pustaka Utama, 2014).;

 

Saksikan juga video menarik di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya