Liputan6.com, Banjarnegara - Sejumlah petani kentang di kawasan Kawah Sileri, Pegunungan Dieng, tepatnya di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pusing "tujuh keliling". Musababnya, penyakit "aneh bin misterius" menjangkit tanaman kentang mereka akhir-akhir ini.
Turip, salah seorang petani di kawasan Kawah Sileri, mengatakan sebagian tanaman kentang mati perlahan. Pada awalnya, daun nan menghijau berangsur menguning, layaknya tanaman kekurangan pupuk. Tak lama kemudian, batang tanaman kentang menjadi layu.
"Setelah dicabut, ternyata bagian umbinya juga ikut busuk," ucap dia, Sabtu, 22 Juli 2017.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai petani yang belasan tahun bergelut dengan kentang, Turip tak menyerah. Dia berupaya mengobati penyakit tanamannya dengan menyemprotkan cairan insektisida. Ternyata, tak ada satu pun ulat, serangga atau jenis makhluk renik apa pun yang keluar dari tanamannya.
"Tanamannya malah sekarat. Kami tidak tahu itu penyakit apa? Disemprot insektisida juga percuma karena tidak muncul hamanya," tutur dia.
Namun, Turip tak yakin penyakit yang memapar ratusan tanaman kentangnya disebabkan meletusnya Kawah Sileri. Pasalnya, jarak ladangnya jauh dari Kawah Sileri yang meletus pada 2 Juli 2017.
"Saya kira tidak. Tapi, saya sendiri tidak tahu penyakitnya apa," ujar dia.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Penjelasan Dinas Pertanian
Adapun Kepala Dinas Pertanian Banjarnegara, Singgih Haryono, menduga penyakit yang menjangkit tanaman kentang Dieng dipicu anomali cuaca pada tahun ini. Menurut dia, curah hujan tinggi menyebabkan kelembapan naik dan mengakibatkan meningkatnya potensi serangan jamur dan bakteri.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah mendapat laporan mengenai munculnya penyakit tanaman kentang dengan gejala menguning, layu, dan busuk. Menurut dia, gejala itu penyakit itu menunjukkan bahwa tanaman kentang terserang bakteri. Namun untuk memastikan dia akan mengirimkan tim ke lokasi.
"Jadi kalau dengan cuaca ekstrem seperti ini, dengan kelembapan tinggi, obat jamur stadiumnya lebih luas. Karena penyakit kentang itu banyak sekali. Kalau selain gejala-gejala itu (layu, kuning, dan busuk), yang banyak itu yang namanya NSK. Kalau NSK itu tanaman kerdil," ujar Singgih.
Singgih menambahkan, pada Juni atau Juli, banyak petani di Dieng, yang menanam kentang. Sebab, biasanya awal kemarau terjadi pada Juni dan mencapai puncak kemarau antara Agustus atau September. Namun, nyatanya, tahun ini hingga Juli masih terjadi hujan meski intensitasnya fluktuatif.
Singgih mengemukakan pula, serangan penyakit pada tanaman kentang juga dipicu pola tanam kentang tanpa putus. Pasalnya, dalam sebuah hamparan, ada saja petani yang menanam kentang walau bukan pada musim ideal. Itu sebab, siklus penyakit tak pernah putus.
"Jamur juga banyak. Yang jelas jenis penyakitnya semakin banyak. Karena yang menanami kentang di Dieng itu tidak pernah putus, sehingga siklus penyakitnya selalu ada terus," tutur dia.
Dia menyarankan, untuk memutus siklus penyakit kentang, maka secara total petani harus kompak untuk tidak menanam kentang di sebuah hamparan area dalam satu waktu. Jika sudah terserang, maka satu-satunya jalan adalah menyemprot tanaman kentang dengan fungsida dan bakterisida.
"Kalau sudah kadung diserang parah, ya cabut tanamannya, bakar," Singgih memungkasi penjelasan penyakit yang menyerang tanaman kentang di kawasan Kawah Sileri, Pegunungan Dieng.
Advertisement