Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat, atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, menjadi penyebab kerugian perusahaan yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel di tanah air.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sujatmiko mengatakan, kerugian smelter nikel saat ini disebabkan karena turunnya harga jual dan meningkatnya biaya produksi.
Advertisement
Menurut Sujatmiko, melemahnya permintaan nikel pada industri stainless steel di kuartal kedua 2017 ditengarai menjadi penyebab utama turunnya harga nikel dunia. Di saat yang bersamaan, harga cooking coal (kokas) meningkat dari US$ 100 per ton di Desember 2016 menjadi US$ 200 per ton pada Mei 2017.
"Tidak tepat jika PP No. 1 Tahun 2017 menimbulkan kerugian bagi pengusaha smelter nikel sehingga menyebabkan ditutupnya operasi produksi smelter nikel di tanah air," kata Sujatmiko, di Jakarta, Senin (24/7/2017).
Sujatmiko mengungkapkan, adanya kelebihan produksi dari 2016 yang tidak diikuti dengan peningkatan permintaan di pasar, serta meningkatnya pasokan nikel dari Filipina menjadi faktor utama tren rendahnya harga nikel dunia saat ini.
"Ditambah dengan meningkatnya harga kokas yang signifikan (dua kali lipat) dalam 5 bulan terakhir menyebabkan keekonomian smelter nikel (terutama yang berbasis blast furnace) mengalami tekanan," tambah Sujatmiko.
Kokas diketahui menjadi sebagai salah satu komponen utama pada struktur biaya dalam proses pengolahan dan pemurnian nikel, dengan teknologi blast furnace diperkirakan mencapai 40 persen dari total biaya produksi.
Sujatmiko mencontohkan, sebagaimana harga minyak mentah dunia, tidak ada satu organisasi atau negara yang dapat menentukan atau mengontrol harganya. Hal ini terjadi juga di komoditas mineral dan batubara.
"Beberapa tahun belakangan ini harga minyak mentah dunia rendah. Kita juga ingat bagaimana lesunya harga batubara, namun kemudian membaik. Demikian juga dengan mineral. Saat ini mungkin harganya rendah, tapi suatu saat akan rebound," papar Sujatmiko.
Sujatmiko kembali menegaskan, semangat penerbitan PP Nomor 1 Tahun 2017 untuk mendorong dan mempercepat pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam, melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri.
"Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri agar memberikan manfaat yang optimal," ungkapnya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyatakan, 20 fasilitas pemurnian (smelter) nikel menghentikan kegiatan operasinya. Hal ini akibat dibukanya kembali keran ekspor bijih nikel sehingga menekan harga di dalam negeri.
Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo mengatakan, sejak adanya Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ada 32 smelter baru yang muncul. Dari jumlah tersebut, 25 di antaranya adalah smelter nikel dengan nilai investasi mencapai US$ 18 miliar.
"Namun, dari 25 smelter tersebut, hanya ada 2 smelter yang masih bisa digolongkan dalam keadaan sehat dan sisanya harus terseok-seok untuk menjalankan kegiatan operasinya," ujar dia.
Kebijakan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah, lanjut dia, telah menekan harga. Hal tersebut membuat investasi smelter tidak ekonomis.
"Harga pokok produksi (HPP) smelter nikel dengan teknologi blast furnace sekitar US$ 9.600 per ton. Adapun smelter listrik HPP-nya di kisaran US$ 9.800 per ton," tandasnya.