Radikalisme Ancaman Nyata Pemuda Tanah Air

Dosen di King Fahd University Saudi Arabia Sumanto Al Qurtuby mengatakan, konflik di Timur Tengah bukan karena agama tapi politik.

oleh RochmanuddinFachrur Rozie diperbarui 25 Jul 2017, 15:14 WIB
Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Aksi terorisme belakangan bukan saja terjadi di Timur Tengah, tapi kini merambah ke Tanah Air. Para teroris umumnya pernah belajar di Timur Tengah.

Dari peristiwa demi peristiwa terorisme juga dapat terlihat, para pelaku umumnya masih berusia muda atau bahkan kalangan remaja. Mulai dari bom Bali, bom Thamrin, bom Kampung Melayu, hingga bom Panci Bandung.

Karena itu, radikalisme kini menjadi ancaman nyata bagi generasi muda di Tanah Air. Pemerintah dan pihak-pihak terkait, kini lebih gencar mencegah radikalisme atau deradikalisasi, khususnya di kalangan remaja.

Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, usia muda termasuk masa rentan menjadi intoleran dan radikal. Karena mereka masuk dalam fase mencari jati diri atau identitas. Apalagi, generasi ini melihat adanya ketidakadilan di sekitar mereka.

"Akibatnya, mereka dengan mudah menerima gagasan-gagasan dan pemikiran radikal yang mereka peroleh dengan mudah, melalui tulisan di dunia maya maupun lisan yang disampaikan pemuka agama," ujar Yenny dalam diskusi bertema Radikalisme di Timur Tengah dan Pengaruhnya di Indonesia, yang diselenggarakan Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu 22 Juli 2017.

Selain itu, lanjut dia, ada pemahaman tentang jihad yang keliru. Orang yang punya konsep pemahaman Islam yang literalis seperti mencuri potong tangan, berzinah dirajam dalam konteks modern seperti saat ini lebih mudah teradikalisasi.

"Kalau jihad mesti perang bukan menahan nafsu atau melawan diri sendiri, itu lebih mudah teradikalisasi. Itu faktor-faktor yang berperan," tegas putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.

Yenny mengatakan, Pancasila menjadi jawaban untuk mencegah radikalisasi menyusup ke generasi muda. Tidak hanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, jika sila ke-2 dan ke-5 diamalkan dan diwujudkan, ide mengenai negara khilafah atau ide-ide radikal lainnya tidak akan diterima masyarakat Indonesia.

"Ketika masih ada korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat negara, ketika masyarakat miskin masih banyak, ini mudah sekali jadi ladang subur persemaian gagasan-gagasan radikalisme," tegas Yenny.

Dia beralasan, ada orang-orang yang mengatakan bahwa solusi dari ini semua adalah khilafah. Menurut Yenny, itu terlalu gampang, tapi tak bisa dibantah bahwa ada sebagian masyarakat yang tertarik dengan gagasan sederhana seperti itu, meski belum bisa dibuktikan efektifitasnya.

"Bukan cuma sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sekarang kalau bicara Pancasila seolah-olah hanya Ketuhanan yang Maha Esa, tapi yang paling penting justru sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," pungkas Yenny.

Perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid itu mengatakan, agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap masyarakat sebagai umat beragama. Karena itu jangan dibenturkan antara keduanya.

"Jadi jangan cuma bicara sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan coba membenturkan antara agama dengan nasionalisme. Karena agama dan nasionalisme adalah bagian dari sikap kita sebagai umat beragama," Yenny menandaskan.

Pada kesempatan sama, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan, kelompok radikalis punya banyak taktik untuk mendoktrin kaum remaja dan masyarakat. Di sinilah pentingnya meredam radikalisme bagi mereka yang sudah menyadari kekeliruannya.

"Kemarin ada deklarasi Cinta Tanah Air dan sebagainya. Mereka berbalik, kurang lebih ada 37 mantan napi teroris yang sudah berbalik, dan sekarang mendirikan yayasan Lingkar Perdamaian. Ini termasuk contoh, menjadi embrio untuk menyebarkan paham-paham yang baik," kata dia.

Sementara data BNPT menyebutkan, pelaku teroris terbesar berpendidikan SMU yakni 63,3 persen, kemudian disusul perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen, dan SD 3,6 persen.

Kemudian berdasarkan umur, pelaku teroris terbanyak usia 21-30 tahun yakni 47,3 persen, disusul usia 31-40 tahun 29,1 persen. Sedangkan, usia di atas 40 tahun dan di bawah 21 tahun masing-masing 11,8 persen.

Konflik di Timur Tengah

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) F Iriani Sophiaan mengatakan, keberlangsungan suatu negara dan bangsa sangat ditentukan oleh tekad persatuan dan kesatuan, serta sinergi yang positif di antara berbagai komponen bangsa untuk menjaganya.

Menurut dosen yang menjadi ketua BARA UI ini, pro dan kontra di antara pilar kebangsaan adalah hal biasa, yang harus dihargai sebagai dinamika yang melekat, dan merupakan keniscayaan yang tak mungkin dinegasikan.

"Kondisi pro kontra seharusnya menjadi penguat dan terus bergerak dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan sebaliknya untuk menghancurkan," kata Iriani, yang juga moderator diskusi publik ini.

Terkait perbedaan ini, Iriani menambahkan, Indonesia beruntung memiliki prasyarat yang terbingkai menjadi satu, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara, Dosen di King Fahd University Saudi Arabia Sumanto Al Qurtuby mengatakan, konflik Timur Tengah tidak terkait dengan Sunni dan Syiah, tapi karena lebih pada perebutan kekuasaan atau politik.

"Misal di Qatar di sana baik-baik saja. Di Bahrain juga," ujar Qurtubi dalam diskusi yang digelar Bara UI itu.

Karena itu, Qurtuby mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak memaknai konflik Timur Tengah sebagai konflik agama.

"Indonesia jangan terpengaruh ke sana. Itu semata-mata karena politik," ucap dia.

Pria yang juga mengajar di Nasional University Singapura itu menyebutkan, di Timur Tengah kelompok Sunni dan Syiah hanya merupakan faksi.

Kedua kelompok ini, kata Qurtuby, tidak saling memerangi seperti yang selama ini dipersepsikan orang Indonesia. Yang ada, kata dia, keduanya berperang melawan kelompok radikal.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya