Liputan6.com, Jayapura - Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan surat edaran nomor 660.1/6501/SET, tentang pelarangan penggunaan burung cenderawasih asli sebagai aksesori dan cendera mata.
Penerbitan surat ini dilakukan karena makin maraknya perburuan cenderawasih. Tak hanya dijual mati, burung endemik Papua ini dijual hidup di pinggir jalan.
"Kabupaten Jayapura dan Nabire paling tinggi tingkat perburuannya," kata Peter Roki Aloisius selaku Northern New Guinea Leader, WWF Indonesia-Papua Program, Rabu (26/7/2017).
WWF berharap sanksi bagi para pemburu dapat dilakukan lebih tegas lagi. Tak hanya sanksi yang materi yang bernilai miliaran, hukuman pidana harus tetap diterapkan.
Padahal, burung cenderawasih sudah menjadi cerita turun temurun bagi masyarakat Papua, bahwa burung itu adalah burung surga, bahkan disebut sebagai burung titisan leluhur masyarakat Papua.
Baca Juga
Advertisement
"Termasuk aparat keamanan masih melakukan perburuan. Entah itu dilakukan untuk pemberian cendera mata atau untuk dipelihara sendiri," katanya.
WWF menilai surat edaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua adalah langkah tepat untuk melindungi 43 jenis cenderawasih yang berada di pegunungan hingga pesisir Papua.
"Untuk terus melindungi satwa ini, bukan hanya kerja dari pemerintah, tapi semua pihak harus dapat menjaga dan diberikan tanggung jawab bersama," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Papua bahkan telah menetapkan lima lokasi wisata alam pengamatan Burung cenderawasih di Papua.
Kelima wilayah itu adalah Kampung Rhepang Muaif dan Kampung Tablasupa yang terletak di Kabupaten Jayapura, lalu di Kampung Sawendui, Kampung Barawai, dan Kampung Pom yang terletak di Kabupaten Kepulauan Yapen.
Burung Cenderawasih Imitasi
Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Hery Dosinaen menyebutkan pelarangan perburuan Cenderawasih, untuk melindungi dan mencegah ancaman kepunahannya dan membangun paradigma berpikir bahwa Burung Cenderawasih memiliki nilai sakral, untuk mengangkat nilai dan filosofi budaya Papua.
"Burung Cenderawasih asli tak boleh lagi digunakan untuk atribut seni dan budaya yang biasa digunakan pada mahkota.
"Penggunaan Burung Cenderawasih asli hanya diperbolehkan dalam prosesi kegiatan adat istiadat di Tanah Papua yang bersifat sakral," ucapnya.
Pengaturan penggunaan Burung Cenderawasih asli dapat mendorong terciptanya kreativitas imitasi Burung Cenderawasih dan pengembangan produk turunannya yang merupakan peluang pengembangan ekonomi kreatif di Papua.
Salah satunya adalah Steven Rumawar (30) mengaku telah menggeluti usaha pembuatan Burung Cenderawasih imitasi dari sejak 2007. Inspirasinya didapat dari seorang Mama Papua, Helena Rumkorem yang merupakan pencinta Burung Cenderawasih.
Steven menggunakan pohon sagu dan sisik ikan dalam pembuatan imitasi Burung Cenderawasih. Untuk bulunya, ia menggunakan bulu ayam dan kain sebagai bahan untuk badan burung.
"Banyak kelompok tari yang sudah membeli produk burung imitasi sebagai pelengkap dalam tariannya. Saya juga terus melakukan sosialisasi kepada pembeli atau masyarakat, untuk melindungi satwa ini," ujarnya.
Tak hanya itu, Dewan Kesenian Papua bahkan melakukan perlombaan pembuatan Burung Cenderawasih imitasi, sebagai cenderamata, mahkota, bahkan perhiasan lainnya.
"Perlombaan ini kami buka kepada seluruh peserta hingga Provinsi Papua Barat yang pembukaan lomba sudah dilakukan mulai hari ini," katanya, Rabu (26/7/2017).
Peserta lomba adalah bebas, pria ataupun wanita. Lalu, bahan yang harus digunakan dalam perlombaan itu adalah bahan dasar limbah, daur ulang.
"Silahkan menuangkan aspirasi Cenderawasih imitasi. Kami harapkan para seniman juga bisa ikut ambil bagian dalam lomba ini," ujar Ketua Dewan Kesenian Papua, Nomensen Mambraku.
Advertisement